Harga Pakan Meroket, Peternak Ayam Petelur Gulung Tikar

  • Bagikan
MASIH PANEN: Pekerja menata telur ayam ke atas bak pikap di salah satu peternakan ayam petelur di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Klaten, kemarin (10/10). (ANGGA PURENDA/RADAR SOLO)

KLATEN, RAKYATJATENG – Peternak ayam petelur di Klaten babak belur. Setelah harga komoditas jagung, sebagai pakan pendamping meroket. Sialnya, harga telur di pasaran masih jauh di bawah harga pokok produksi (HPP). Dampaknya, empat pelaku usaha ayam petelur gulung tikar.

Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Klaten Sunaryo menjelaskan, harga jagung di pasaran sekitar Rp 5.200-Rp 5.400 per kilogram (kg). Padahal, sebelumnya masih di kisaran harga Rp 4.500 per kg.

“Klaten sudah menerima subsidi dari pemerintah pusat, terkait ketersediaan pakan jagung. Jumlahnya sekitar 2.000 ton. Ada pun yang sudah terealisasi, baru 100 ton. Sehingga masih ada 1.900 ton untuk Oktober-November ini,” terang Sunaryo, Sabtu (9/10).

Subsidi dari pemerintah pusat, membuat peternak menghemat Rp 900 per kg pakan. Karena komposisi pakan ayam petelur, 50 persennya merupakan jagung. Sunaryo berharap, subsidi pakan dari pemerintah juga turun pada Desember nanti. Kendati di masa itu, masuk panen raya jagung. Dan harga jagung, diprediksi kembali normal.

“Penyebab harga jagung naik, karena hasil panen sedikit. Tidak bisa memenuhi kebutuhan peternak. Harus berebut dengan pabrik yang tidak boleh impor jagung. Peternak dengan populasi ayam petelur sekitar 2.000 ekor ke bawah, jadi korbannya,” ujarnya.

Kendala lainnya, harga telur ayam di pasaran malah anjlok. Harusnya, HPP telur ayam Rp 20.700 per kg. Saat ini, harganya di kisaran Rp 15.000 per kg. Anjloknya harga, disebabkan panen telur ayam melimpah. Namun tidak dimbangi penyerapan dari konsumen.

“PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) juga mempengaruhi. Kondisi ini sudah berlangsung dua bulan. Masyarakat tidak boleh hajatan. Resto dan tempat wisata belum buka 100 persen. Dari 73 peternak ayam petelur di Klaten, beberapa sudah kolaps,” urainya.

Sementara itu, peternak ayam petelur asal Desa Krakitan, Kecamatan Bayat Suwarto, 41, mengaku terpaksa menjual ayamnya supaya bisa bertahan. Hasilnya, sebagian digunakan untuk membayar cicilan hutang di bank.

“Dulu punya 7.000 ekor ayam. Sekarang tinggal 3.500 ekor. Sebagai peternak, sangat terdampak pandemi. Harga telur ayam di tingkat peternak pernah anjlok Rp 14.800 per kg. Seharusnya sekitar Rp 21.000 per kg,” bebernya. (ren/fer/dam/JPC)

  • Bagikan

Exit mobile version