Sedekah Merapi Tahun Ini Digelar di Tengah Ancaman Erupsi dan Pandemi

  • Bagikan

MALAM 1 SURA: Sedekah Merapi sebelum pandemi. Tahun ini, acara tersebut digelar sederhana. (RAGIL LISTIYO/RADAR SOLO)

BOYOLALI, RAKYATJATENG – Di tengah pembatasan kegiatan, tradisi Sedekah Merapi di Desa Lencoh, Kecamatan Selo tetap digelar secara sederhana, Senin (9/8/2021).

Ungkapan syukur pada malam 1 Sura ini ditandai melarung kepala kerbau seberat 23 kilogram (kg) dan gunungan besar ke Pasar Bubrah.

Kepala kerbau tersebut didatangkan khusus dari Kudus. Warga yang naik ke Merapi juga dibatasi, hanya 10 orang.

”Sedekah bumi tetap dilakukan, namun sederhana. Tak ada gelar budaya, cuma kondangan, doa kemudian diarak ke atas,” ungkap Ketua Adat Desa Lencoh Paiman Hadi Martono ditemui di rumahnya, Senin (9/8/2021).

Tepat pukul 21.00, warga berkumpul ke balai desa. Kegiatan dimulai dengan acara kenduri dan doa bersama. Baru sekitar pukul 22.00, kepala kerbau lengkap beserta gunungan raksasa dan sesaji diarak naik.

”Namun, sudah seminggu terakhir aktivitas Gunung Merapi meningkat, jadi kami tetap hati-hati. Kami lihat arah angin dari timur ke barat, kalau erupsi arahnya ke sana. Maka saya sudah pesan ke mereka (pengangkut kepala kerbau,red). Kalau Merapi padang (tidak erupsi,Red) bisa sampai Pasar Bubrah. Tapi kalau Merapi duwe gawe (erupsi,red) sampai pos bawah Pasar Bubrah saja,” imbuhnya.

Paiman menjelaskan, ada 10 orang yang akan mengarak naik. Beberapa di antaranya berasal dari kelompok relawan pendaki untuk membantu membuka jalur. Karena sudah lama jalur pendakian tutup dan tidak terjamah. Pendakian menuju Pasar Bubrah hanya memakan waktu 1-1,5 jam saja.

”Begitu sampai, kepala kerbau dan gunungan serta sesaji ditaruh saja di atas. Karena ritual doa sudah dilakukan di bawah. Jadi lebih ringkas dan sederhana,” terangnya.

Tradisi Sedekah Merapi ini sudah menjadi tradisi sejak lama. Hingga pada 1991 mulai difasilitasi oleh Pemkab Boyolali. Termasuk anggaran kepala kerbau yang akan dilarung. Namun, tahun ini karena pembatasan anggaran, warga berinisiatif iuran membeli kepala kerbau secara mandiri. Bagi mereka, tradisi ini merupakan momen yang ditunggu-tunggu.

Selain itu, normalnya ada tujuh gunungan kecil dengan sembilan tumpeng yang bermaknakan nabi tujuh dan wali sembilan. Filosofi Jawa yang masih melekat dan dilestarikan. Lalu ada satu gunungan besar dan lengkap dengan rasulan serta sesaji.

”Ini ungkapan rasa syukur kami kepada Tuhan atas berkah bumi dan masyarakat guyup rukun. Selain itu, karena hidup di bawah Merapi semoga dijauhkan dari bencana,” terangnya. (rgl/adi/JPC)

  • Bagikan

Exit mobile version