Jokowi Minta Pemda Sanksi Pelanggar Protokol Kesehatan

  • Bagikan
Petugas menindak pengendara yang tidak menggunakan masker di kawasan Jalan Karang Tengah, Jakarta, Senin (27/7/2020). (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

JAKARTA, RAKYATJATENG – Presiden Joko Widodo akhirnya mengeluarkan instruksi presiden (inpres) terkait sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan.

Inpres Nomor 6 Tahun 2020 itu diteken Selasa (4/8). Diberi judul Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Penanganan Covid-19.

Inpres tersebut menginstruksikan beberapa hal. Khususnya bagi para gubernur, bupati, dan wali kota selaku pelaksana teknis di daerah. Mereka tidak hanya diminta meningkatkan sosialisasi penerapan protokol kesehatan secara masif. Kepala daerah juga diperintah membuat peraturan gubernur, bupati, atau wali kota yang memuat ketentuan pendisiplinan itu.

Ketentuannya, antara lain, kewajiban mengenakan masker yang menutupi hidung, mulut, hingga dagu. Kewajiban itu berlaku bila seseorang keluar dari rumah atau berinteraksi dengan siapa pun yang tidak diketahui status kesehatannya. Kemudian kewajiban mencuci tangan, jaga jarak, serta menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.

Kewajiban mematuhi protokol kesehatan tersebut berlaku bagi seluruh masyarakat. Baik perorangan, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, maupun penanggung jawab tempat dan fasilitas umum. Fasilitas umum yang dimaksud adalah perkantoran atau tempat usaha, industri, institusi pendidikan, tempat ibadah, infrastruktur transportasi umum, hingga kendaraan pribadi.

Juga harus diterapkan di pasar modern dan tradisional, apotek, warung makan, hingga restoran, termasuk pedagang kaki lima. Berlaku pula di hotel, tempat wisata, faskes, dan ruang publik lainnya.

Ada empat jenis sanksi yang diatur dalam inpres tersebut, yakni teguran lisan dan tertulis, kerja sosial, serta denda administratif. Juga sanksi khusus bagi tempat usaha berupa penghentian atau penutupan sementara kegiatan usaha. Nanti penerapan sanksi itu dikoordinasikan dengan kementerian dan lembaga terkait serta TNI dan Polri.

Sementara itu, Direktur Standardisasi Obat Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif Togi Junuce Hutadjulu menjelaskan bahwa pengembangan vaksin Covid-19 sedang berjalan. ”BPOM mengawal untuk memastikan bahwa obat ini nantinya aman digunakan dalam rangka pencegahan ataupun treatment,” ucapnya.

Togi menerangkan, uji klinis akan dilakukan pada kurang lebih 1.620 subjek di pertengahan bulan Agustus ini. ”Yang melakukan adalah Universitas Padjadjaran, fakultas kedokteran. Ini merupakan kerja sama dengan Bio Farma,” katanya.

Bio Farma diperkirakan mengajukan izin edar vaksin pada Januari 2021 dan diharapkan persetujuan tersebut dapat dikeluarkan pada Februari 2021. Merespons banyaknya klaim soal obat Covid-19, Togi meminta masyarakat tetap waspada.

Untuk menjadi sebuah obat, terang Togi, ada berbagai prosedur yang harus dilewati. Pertama, proses penelitian guna mencari molekul yang potensial digunakan. Setelah molekul didapatkan, dilakukan uji laboratorium untuk menetapkan karakterisasi serta spesifikasinya.

Kalau sudah kelihatan ada potensi untuk manfaat dan keamanannya, akan pindah ke uji praklinis. Uji praklinis dilakukan pada hewan untuk membuktikan keamanan obat tersebut sehingga dapat dilanjutkan ke uji klinis.

Togi menjelaskan, terdapat tiga fase dalam uji klinis. Fase kesatu untuk memastikan keamanan. Fase kedua untuk memastikan efektivitas. Fase ketiga untuk mengonfirmasi keamanan dan khasiat obat tersebut.

Penghapusan Rapid Test

Satgas Penanganan Covid-19 masih membicarakan penghapusan rapid test sebagai syarat orang bepergian. Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyatakan, pembahasan masih berlangsung. Dia menolak menjelaskan latar belakang adanya wacana penghapusan rapid test. ”Nanti akan disampaikan kalau sudah jelas semuanya,” ungkap dia.

Pakar epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, jika pemerintah menghapus syarat penggunaan rapid test, harus ada penggantinya. Sebab, pengukuran suhu tubuh tak mencerminkan kondisi penumpang. ”Diganti PCR lebih baik,” tuturnya.

Yunis menyatakan bahwa wacana penghapusan persyaratan rapid test makin menunjukkan bahwa pemerintah menginginkan pertumbuhan ekonomi. Namun, penanggulangan Covid-19 diabaikan. Dia menyadari, karena Covid-19 ini semua ambruk. Tak terkecuali maskapai. ”Kalau syarat PCR, mahal. Selain itu, belum semua daerah laboratoriumnya mampu,” ungkapnya.

Yunis mengingatkan bahwa pemerintah tak boleh mengejar perekonomian saja. Sebab, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menurunkan wabah. (JPC)

  • Bagikan