29 Februari: Perhitungan Kabisat sejak 1500 Masehi, Dulu Februari Bulan Terakhir

  • Bagikan
Kepala Pusat Astronomi dan Observatorium Pondok Pesantren Assalaam AR Sugeng Riyadi. (SILVESTER KURNIAWAN/RADAR SOLO)

SOLO, RAKYATJATENG – Kepala Pusat Astronomi dan Observatorium Pondok Pesantren Assalaam AR Sugeng Riyadi mengatakan, 29 Februari yang muncul empat tahun sekali terjadi karena sebuah proses perhitungan waktu yang sudah dilakukan para ilmuwan terdahulu.

Setelah melalui proses ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, para ilmuwan zaman dulu mulai mencari pengaturan waktu yang paling presisi sampai hari ini. Untuk menghitung pengaturan waktu ini para ilmuwan menggunakan dua pendekatan berbeda, yakni peredaran matahari dan peredaran bulan.

“Nah, kabisat ini atau yang lazim dipakai sampai sekarang adalah kalender perhitungan matahari. Jadi proses bumi mengelilingi matahari sebagai pusat tata surya dalam sekali rotasi ini adalah 365/366 hari,” jelas pria yang juga pembina Club Astronomi Santri Assalaam (Casa) ditemui di Pondok Pesantren Assalaam, Sukoharjo, Jumat (28/2).

Perhitungan kabisat yang sudah ada sejak ribuan tahun silam itu mulanya muncul saat zaman pemerintahan Kaisar Julius (Romawi) sekitar 1500 Masehi.

Seorang ahli astonomi Kekaisaran Romawi, Sosigenes Alenxandria mengatakan, dari hasil perhitungan dia, bumi membutuhkan waktu 365 hari, 5 jam, 48 menit, dan 45 detik untuk mengitari matahari dalam sekali rotasi.

“Karena tidak genap 365 hari, maka kelebihan waktu itu dibulatkan jadi 6 jam atau setara dengan seperempat hari. Kemudian kelebihan seperempat hari ini dibulatkan menjadi sehari dalam kurun waktu empat tahunan yang akhirnya jatuh pada 29 Februari itu,” kata dia.

Saat itu, satu tahun masih dihitung dengan 10 bulan. Untuk melengkapi ditambah dua bulan tambahan, yakni Januari dan Februari. Kala itu, Februari masih terhitung menjadi bulan yang paling akhir dalam setahun. Karena itulah, Februari menjadi sasaran untuk dikurangi atau ditambahkan.

Perhitungan ini sedikit berubah saat takhta Kaisar Julius digantikan oleh Kaisar Agustus, khususnya untuk perubahan atau penggantian nama Agustus dengan 31 hari di dalamnya. Perhitungan ini akhirnya menjadi acuan sampai akhirnya muncul Kalender Gregorian oleh Paus Gregorius XIII.

“Sejak itu, perhitungan tahun kabisat disempurnakan dengan perhitungan tahun yang tidak hanya habis dibagi empat, namun juga habis dibagi 400,” papar AR Sugeng.

Dia berani memastikan bahwa secara keilmuan, tahun kabisat atau lebih dikenal dengan istilah leap year atau tahun panjang tidak begitu menarik dari segi keilmuan. Sebab, perhitungan saat ini bisa dibilang paling sahih dan dapat dipertanggung jawabkan.

Sebab itu, tahun kabisat tak lebih spesial dari tahun nonkabisat (tahun pendek). Yang membedakan adalah sosiokultur masyarakat yang hidup dan memaknai peristiwa tersebut.

Ada banyak tradisi di berbagai belahan dunia dalam memaknai kabisat. Ada yang merayakan karena dianggap spesial. Misalnya seperti perayaan leap year di ibu kota Kabisat, Texas, USA. Namun, di sebagian daerah lain justru memandang hal itu kurang baik.

“Terlepas dari itu, semua hari sama baiknya dan tidak ada yang spesial lebih dari hari lainnya. Ini semua hanya ekspresi sosial budaya saja,” jelas dia. (ves/bun)

(rs/ves/per/JPR/JPC)

  • Bagikan