Lapas Paledang: Dari Sukses ‘El Pale’ Sampai Lahirkan Ratusan Hafiz Quran

  • Bagikan

JAKARTA, RAKYATJATENG — Bila di sebuah perhelatan perhatian dan hati Anda tertawan gerak rampak nan gemulai para penari grup ‘El Pale’, jangan berpikir para penari yang menghibur itu seniman profesional dari luar negeri. Nama ‘El Pale’ tak sedikit pun berkait dengan penunggang kuda bermuka pucat  yang diperankan Clint Eastwood dalam ‘Pale Rider’. ‘El Pale’ sejatinya dari frasa Lapas Paledang, sebuah lembaga pemasyarakatan di Kota Bogor.

Tapi bukan hanya ‘El Pale’, grup beranggotakan Warga Binaan Pemasyarakatan/ WBP dan sering mendapatkan undangan mengisi acara di tingkat nasional, yang membanggakan dari Lapas Paledang. Ada pula grup musik marawis yang tak pernah sepi dari undangan pentas.

Yang lebih membanggakan, para warga binaan lapas tersebut atas prakarsa sendiri membentuk kelompok santri penghafal Alquran dan belajar ilmu-ilmu agama dengan kurikulum dan silabus yang mereka buat sendiri dengan bergotong royong.

“Sepenuhnya atas prakarsa para warga binaan sendiri,” kata Yuni Sulistiawati, kepala Sub-seksi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan Lapas Kelas II A Paledang, Bogor.

“Cukup lengkap, kalau saya bandingkan dengan silabus yang biasa digunakan di sekolah-sekolah Islam terpadu. Ada pembahasan mendalam soal akidah dan akhlak, pembahasan Alquran dan hadits Nabi, fikih dan sebagainya.”

Menurut Yuni, dirinya bersama sejawatnya Oman Fadillah relatif hanya tinggal melakukan pengecekan dan mengontrol. Proses pembelajaran hingga pengaturan teknis, semua ditangani para warga binaan.

“Sudah sekitar dua tahun berjalan, dan lancar-lancar saja,” kata dia.

Para santri penghafal (hafiz) itu tinggal di tiga sel khusus yang disebut kamar santri. Mengingat usia warga binaan yang menjadi santri penghafal Alquran itu rata-rata hampir setengah baya, para santri mulai dengan juz 30 yang rata-rata berisikan surat-surat pendek. Hingga saat ini, menurut Yuni, ke-150 santri tersebut banyak yang hafal seluruh surat di juz 30. Setidaknya rata-rata sudah lancar di luar kepala 17 dari 37 surat yang ada.

Keberadaan kamar santri dan WBP hafiz itu tak bisa dipisahkan dari sosok Jamaludin, seorang warga binaan yang sudah 21 bulan ini menjalani masa. Jamal yang tengah menunggu Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat (SKPB) itu memang otak di balik aktivitas relijius tersebut.  

Di awal-awal masa hukuman, Jamal yang sempat menjadi staf ahli Menteri Kehutanan MS Ka’ban itu mengaku sempat nyaris depresi. Sel yang kelebihan beban (over loaded), hidup yang terkurung serta kemerdekaan yang terampas, wajar membuatnya hampir kehilangan kontrol. Untunglah, pendidikan agama yang dijalaninya saat kecil dan remaja, membuat Jamal akhirnya sadar bahwa yang ia alami tak lain dari ujian bagi kematangan jiwanya.

“Apalagi saya menemukan  surat As Sajdah ayat 21. Saya kian yakin bahwa musibah itu antara lain diberikan Allah untuk membuat hamba-Nya kembali ke jalan yang benar,” kata alumnus Universitas Ibnu Khaldun itu.

Alih-alih jatuh, semangat Jamal setelah itu langsung melesat naik. “Saya bahkan yakin, salah satu tugas semua Muslim itu adalah saling mengajak kepada kebaikan,” kata dia.

Terbetiklah ide untuk membentuk kelompok belajar agama Islam, dengan tambahan kegiatan menghafalkan Alquran bersama-sama.

Saat ide itu diutarakan kepada rekan-rekan sesama WBP, ternyata peminatnya melimpah. Semua itu lebih dari cukup buat Jamal dan teman-teman untuk menghadap Kepala Lapas dan jajarannya guna meminta izin dan bimbingan.

“Tentu saja kami harus—katakanlah, menyeleksi peminat yang membludak itu,” kata Kepala Lapas Paledang Teguh Wibowo.

Seiring waktu, tak hanya kurikulum dan silabus yang mereka bikin bersama. Jamal pun berhasil membuat buku-buku panduan untuk memudahkan rekan-rekannya belajar. Buku-buku tersebut dibuat sesuai kebutuhan yang disarankan oleh banyak warga binaan. “Buku-buku yang ada umumnya terlalu tebal dan bikin ngeri, kadang terlalu teoritis serta kurang memotivasi,” kata Jamal. 

Hingga kini ia berhasil membuat beberapa buku, antara lain ‘Di Simpang Jalan’ (buku panduan akidah dan akhlak), ‘Kumpulan Hadits Ibadah Sunah’, dan ‘Pembawa Risalah’ (buku panduan sejarah Islam). “Semua diedit dan disupervisi Lapas, antara lain oleh Bu Yuni,” kata Jamal.

Sadar perlunya kaderisasi, pihak Lapas pun memberi kesempatan kepada Jamal dan rekan-rekannya untuk menggelar semacam pelatihan untuk mentor. “Besok kami akan bikin training of trainer (ToT), mengingat satu persatu mentor toh akan bebas juga,” kata Yuni, Selasa 16 Juli.

Program lain yang tak kurang sukses adalah program rehabilitasi sosial yang sudah berjalan lima tahun. Setelah dua tahun pertama berjalan dengan bantuan penuh Badan Narkotika Nasional (BNN), menurut Yuni mulai 2017 program tiga bulan tersebut berjalan dengan anggaran Lapas sendiri.

“Program ini mengadopsi metodetherapeutic community. Kegiatannya terpadu dan kompleks,” kata Kalapas Teguh. “Semacam pesantren, hanya dengan penerapan disiplin yang lebih ketat.”

Berdasarkan evaluasi, Yuni mengatakan bahwa hasil program terpadu yang melibatkan sesi-sesi pertemuan pagi, rangkaian seminar, family support group, aktivitas berkesenian, pembuatan hasta karya, bahkan pertemuan rutin bulanan dengan anggota keluarga WBP yang menjadi partisipan program itu dinilai memuaskan.  

“Yang kembali ke sini setelah mereka bebas pun kurang dari 10 persen,” kata dia. [***/yon]

  • Bagikan