Kata Gus Yasin, Halal Saja Tak Cukup

  • Bagikan

SALATIGA, RAKYATJATENG – Indonesia memiliki budaya halal bihalal dalam merayakan Idul Fitri. Tak hanya yang beragama Islam, warga nonmuslim pun biasanya ikut dalam tradisi tersebut.

“Halal bihalal itu tidak hanya dinanti umat Islam. Halal bihalal sudah menjadi budaya yang membumi di Indonesia, khususnya di Jawa. Apalagi di Kota Salatiga yang dijuluki sebagai Kota Toleransi Indonesia,” tutur Wali Kota Salatiga Yulianto pada kegiatan Halalbihalal dengan Guru dan Tenaga Kependidikan TK/RA, SD SD LB/MI se-Kota Salatiga, di Gedung Pertemuan Daerah, Sabtu (15/6).

Yulianto merasa senang dan mengapresiasi warganya yang bisa hidup berdampingan dan damai, di tengah banyaknya etnis yang tinggal di Salatiga. Pihaknya berharap, toleransi tersebut bisa terus terjaga.

Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen yang dalam kesempatan itu memberikan tausiyah menyampaikan, pada Idul Fitri ini, hendaknya lebih menguatkan lagi paham-paham toleransi. Terlebih dengan adanya kejadian bom di Kartasura menjelang Idulfitri beberapa waktu lalu.

“Kemarin terjadi ledakan di Kartasura. Tapi itu adalah tuntutan bagi kita bersama untuk bersama-sama introspeksi dan menguatkan lagi paham-paham toleransi. Sehingga saya berharap dari Kota Salatiga ini muncul persaudaraan yang diajarkan Rasulullah,” terang putra Kiai Maimoen Zubair itu.

Gus Yasin, sapaan akrab wagub, mengatakan halal bihalal merupakan kearifan Indonesia yang di negara lain tidak dijumpai. Padahal, kata halal berasal dari bahasa Arab.

“Kalau dalam bahasa Arab cukup dengan kata halal maknanya sudah bisa meliputi satu dengan yang lainnya. Tapi orang Indonesia tidak cukup. Kalau halal saja, maka hanya dari sisi yang meminta. Tapi yang diminta belum tentu memaafkan. Maka halal bihalal. Maaf dan memaafkan. Itulah hebatnya orang Indonesia,” jelasnya.

Ditambahkan, bagi orang Indonesia, tidak lengkap jika tradisi silaturahmi di bulan Syawal tidak dengan berjabat tangan. Sebab, berjabat tangan merupakan tanda saling memaafkan.

Tradisi ini, kata Gus Yasin, sekarang mulai dicontoh negara Suriah. Di bulan Syawal, mereka akan menyiapkan tempat untuk saling bertemu dan saling bermaafan. Biasanya, diselenggarakan di halaman masjid yang terdapat hall.

“Selama lima tahun saya belajar di Suriah, tidak pernah menjumpai orang silaturahmi di bulan Syawal. Tidak ada libur menjelang Lebaran dan sesudah Lebaran. Libur hanya satu hari pada hari Lebaran. Tapi alhamdulillah, setelah banyak orang Indonesia di Suriah, warga Suriah mulai mengadakan. Ini tradisi Indonesia yang diadopsi Suriah,” tutupnya. (hms)

  • Bagikan