PNS Korup Tak Kunjung Dipecat, Kemendagri Tegur Kepala Daerah

  • Bagikan

JAKARTA, RAKYATJATENG – Hingga tenggat yang ditetapkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) lewat, belum semua PNS korup diberhentikan pemerintah daerah. Dari 2.357 koruptor PNS yang putusannya inkracht, baru 53 persen yang telah dipecat.

Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik Piliang menyatakan, berdasar surat edaran Men PAN-RB, jika hingga 30 April tidak dilaksanakan eksekusi, ada konsekuensi hukum. Sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pemda, Kemendagri berwenang menjatuhkan sanksi.

“Pasal 67, ada kewajiban kepala daerah menaati seluruh peraturan undang-undang. Di (pasal) 68 disebutkan, apabila tidak melaksanakan kewajiban, ada sanksi,” ujarnya kemarin (1/5).

Akmal menyatakan, sanksi bagi kepala daerah berupa sanksi administrasi. Sebagai tahap awal, sanksi yang diberikan adalah teguran tertulis. “Minggu ini akan kami surati teguran pertama agar segera memberhentikan,” imbuhnya.

Sanksi tersebut bisa ditingkatkan jika kepala daerah tak kunjung menaati instruksi tersebut. Levelnya naik berjenjang mulai pemberhentian hak keuangan, pemberhentian sementara jabatan, hingga pemberhentian tetap. “Sangat bergantung pada kompleksitas permasalahan. Tentu, kepala daerah punya argumentasi kenapa tidak melakukan pemecatan. Yang jelas, kami beri sanksi dulu,” tuturnya.

Soal jumlah kepala daerah yang bakal mendapat sanksi, Akmal menegaskan bahwa jajarannya sudah melakukan penghitungan. Namun, dia belum memegang data tersebut. Dia menyampaikan, sanksi hanya diberikan kepada kepala daerah yang punya tanggungan pemecatan PNS pelaku korupsi.

Berdasar data yang diterima Badan Kepegawaian Nasional (BKN) hingga 30 April 2019, baru 1.237 PNS korup yang diberhentikan. Padahal, total PNS yang putusannya sudah inkracht dan wajib dipecat mencapai 2.357 orang. Dengan demikian, 1.120 orang belum dipecat dan masih menerima gaji.

Kepala Biro Humas BKN Mohammad Ridwan menjelaskan, berdasar informasi, ada empat kendala yang menjadi alasan daerah. Misalnya, instansi belum mendapat putusan pengadilan. Daerah beralasan, tidak ada kewajiban dari pihak pengadilan untuk meneruskan putusan ke instansi.

Namun, menurut Ridwan, hal itu bukan kendala. “Dalam hal ini, instansi dituntut bergerak proaktif mengajukan permintaan data ke pengadilan,” ujarnya.

(far/c5/fal/jpc)

  • Bagikan