Industri Properti Dinilai Lebih Bergairah Usai Pemilu 2019

BALIKPAPAN, RAKYATJATENG – Pemilihan umum yang dilaksanakan pada 17 April kemarin, berdampak pada bisnis properti. Pasar masih menahan laju bisnis itu lantaran mengantisipasi risiko penurunan seiring dengan pemilu. Tidak sedikit pula pelaku usaha yang memilih untuk wait and see terkait ekspansi bisnisnya hingga pemilu rampung atau tepatnya hingga akhir semester I-2019.

Ketua REI Balikpapan Edi Djuwaedi mengatakan, meski kondisi perekonomian daerah cukup baik ditandai dengan meningkatnya kepercayaan investor, tetap saja masih belum memacu pasar properti. “Beberapa calon pembeli dan penyewa masih akan mengambil pendekatan wait and see terutama pada semester pertama tahun ini,” ujarnya dikutip Kaltim Post, Rabu (17/4).

Karena masih ada wait and see dari pasar selama ada momentum pemilu ditambah Ramadan dan Lebaran, tambah Edi setelah pemilu berlangsung, pasar properti akan melonjak seperti yang terjadi pada Pemilu 2014 – 2015. “Seperti pemilu sebelumnya, setelah wait and see lalu meningkat, jadi nanti pada semester II properti akan kembali kencang,” imbuhnya.

Walaupun market kurang bergairah, tapi kebutuhan properti itu masih terus ada. Jadi pengembang akan terus membangun proyek sesuai dengan tren pasarnya, apalagi untuk rumah murah. Ia mengungkapkan, gairah properti masih di rumah murah. Tapi sektor perumahan komersial mulai menunjukkan asa. Khususnya rumah harga Rp 300-400 juta permintaanya mulai bermunculan.

“Yang masih menjadi PR (pekerjaan rumah) harga Rp 800 sampai miliaran. Masih sulit mencari pasar. Apalagi pasar lokal. Kami sekarang lebih suka ke rumah murah yang sudah pasti pasarnya ada,” tuturnya.

Para pengembang juga menyambut baik rencana Pemerintah menaikkan harga rumah subsidi. Meskipun masih dalam pembahasan, dalam usulannya harga rumah subsidi naik pada kisaran 3-7,75 persen. Khususnya bagi rumah yang menggunakan kredit pemilikan rumah (KPR) lewat skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) REI Kaltim Bagus Susetyo mengatakan, saat ini masyarakat Indonesia masih memerlukan sekitar 11 juta rumah. Sedangkan pengembang hanya bisa memenuhi tak lebih dari setengah kebutuhan tersebut. Aturan itu bisa menggairahkan kembali pembangunan hunian. Kenaikan harga rumah bersubsidi akan ada kekurangan dan kelebihannya di dunia pengembang.

Segmen rumah subsidi memang masih yang paling diminati. Pada 2018, dalam setahun di Kaltim hanya bisa menjual lima unit rumah mewah di atas Rp 500 juta. Sedangkan rumah subsidi dengan harga di bawah Rp 200 juta berhasil terjual Rp 2.600 rumah. Tahun ini direncanakan membangun sekitar 11.808 rumah subsidi.

“Menurunnya penjualan rumah komersial dengan harga Rp 500 juta ke atas, membuat pada pengembang banting setir ke rumah subsidi meskipun keuntungannya sangat sedikit,” katanya.

Menurutnya, kabar kenaikan harga rumah subsidi bisa menjadi angin segar. Namun, perlu diketahui aturan itu hanya berlaku untuk 2019, untuk tahun berikutnya masih akan dibahas lagi. Semua memang harus bergantung kepada pemerintah. “Kita di sektor swasta tentunya mendukung pemerintah untuk kenaikan harga rumah bersubsidi,” ujarnya.

Dia menjelaskan, kenaikan harga yang sedang diusulkan ini pastinya sudah memiliki perhitungan dengan mempertimbangkan para pebisnis. Kenaikan harga tanah yang sangat tinggi menjadi penyebab harga jual rumah subsidi harus ditingkatkan.

“Namun, kita tinggal menunggu saja kapan aturan itu benar terealisasi. Karena dengan begitu, sektor ini akan lebih bergairah dalam menyediakan hunian di Kaltim,” pungkasnya.

(JPC)