FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Sejumlah elemen masyarakat, terdiri dari akademisi dan pemerhati kepemiluan, mendaftarkan gugatan uji materi mengenai syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) ke Mahakamah Konstitusi (MK). Objek yang menjadi gugatan yakni Pasal 222 Undang-undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Gugatan soal PT ini sebenarnya pernah diajukan oleh kelompok masyarakat yang sama. Namun, pada saat itu gugatan mereka ditolak MK.
“Kami memang sudah pernah mengajukan permohonan uji materi ke MK atas Pasal 222 UU 7/2017. Permohonan kami terdahulu masuk setelah Partai Idaman memasukkan permohonan yang sama. Sehingga, permohonan kami diputuskan oleh MK tidak dapat diterima,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Kamis (21/6).
Titi merupakan salah satu dari 12 pemohon gugatan. Dia mewakili lembaganya, Perludem. Pemohon lain yang juga mewakili lembaga yakni Dahnil A Simanjuntak, Ketua Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah. Sedangkan 10 pemohon lain mewakili individu atau perseorangan.
Titi menuturkan, putusan MK atas permohonan Partai Idaman lalu, sama sekali tidak mempertimbangkan argumen hukum dan keterangan ahli yang Perludem ajukan dalam permohonan kali ini. Selain itu, putusan MK menggunakan batu uji pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berbeda dari yang diajukan dalam permohonan sekarang ini.
Menurut Titi, permohonan gugatan uji materi Pasal 222 UU 7/2017 ini merupakan usaha untuk mendapatkan hak konstitusional pemilu. “Kami meyakini bahwa putusan perkara ini tidak membuat kegaduhan, justru membuat pemilu kita semakin damai,” tegas Titi.
Lebih lanjut, Titi berharap MK akan segera menggelar sidang uji materi Pasal 222 UU 7/2017 yang diajukan oleh 12 orang akademisi dan aktivis tersebut. “Kami berharap MK bisa memutus dengan segera perkara ini,” katanya.
Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum RI (KPU) Hadar Nafis Gumay menilai Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, yang hanya mendelegasikan pengaturan tata cara.
“Pengusulan capres dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung, bukan (atas dasar hasil) Pemilu anggota DPR sebelumnya. Sehingga, Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,” tegas Hadar.
Ia mengatakan, syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya bersifat close legal policy bukan open legal policy. Selain itu, penghitungan PT berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional.
“Presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan Presiden, karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal. Sehingga, bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945,” ujar Hadar.
Pemohon lain yakni M Busyro Muqoddas, M Chatib Basri, Faisal Basri, Bambang Widjojanto, Rocky Gerung, dan Robertus Robet. Kemudian Feri Amsari, Angga D Sasongko, serta Hasan Yahya. Hari ini mereka menyerahkan dokumen fisik dan bukti-bukti permohonan tersebut ke MK. (rdw/JPC)