Wacana Eks Napi Korupsi Dilarang Nyaleg, Tidak Ada Alasan DPR Menolak

  • Bagikan

JAKARTA, RAKYATJATENG – Komisi Pemilihan Umum RI (KPU) tengah mengupayakan pemberlakuan aturan mantan narapidana (napi) korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) di pemilihan umum (pemilu) 2019. Aturan ini dijelaskan hanya sebagai penegasan dari Undang-undang (UU) Pemilu nomor 7 tahun 2017. Sehingga dapat dipastikan bahwa wacana ini tidak menyalahi aturan yang ada.

Menanggapi hal ini, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, tidak ada alasan bagi DPR untuk tidak mengesahkan aturan ini. Bahkan adanya wacana ini akan membantu partai politik (parpol) dalam menyeleksi caleg yang akan diusung.

“Saya kira tidak ada alasan DPR untuk menolaknya, karena ketentuan ini sesungguhnya telah dan akan membantu parpol dalam menyeleksi kader yang bersih, yang tidak akan merugikan negara,” ungkap Fickar, Kamis (19/4).

Di sisi lain Fickar menilai aturan ini sebagai lambang perwujudan bahwa partai politik belum bisa melakukan kaderisasi dengan baik. Sehingga selama ini banyak para anggota legislatif yang terperangkap di dalam pusaran korupsi.

Aturan ini juga untuk mengurangi praktik perekrutan kader oleh parpol dengan penilaian tingkat kemampuan ekonomi. Sudah saatnya parpol mengubah orientasinya dengan berfokus pada pembangunan bangsa, dengan menjadikan Indonesia sebagai negara bebas korupsi.

“Ini juga menunjukan parpol belum berfungsi dengan baik dalam melahirkan kader-kadernya. Kebiasaan merekrut kader karena kemampuan ekonominya, seharusnya juga dihentikan. Parpol harus menunjukan niat baiknya membangun bangsa dengan membersihkannya dari korupsi melalui pola rekrutmen kadernya,” tegas Fickar.

Sementara itu, Fickar melihat aturan ini akan menghilangkan hak politik eks napi korupsi. Namun jika dilihat manfaatnya sebagai penyelamat kepentingan negara, maka tidak ada salahnya jika aturan ini tetap diterapkan.

“Hak (mantan) narapidana korupsi memang dihilangkan, tetapi akan menyelamatkan kepentingan yang lebih besar. Demokrasi Indonesia yang lebih beradab dan bersih dari korupsi,” pungkas Fickar. (JPC)

  • Bagikan