OPINI: Antara Pilkada, Medsos, dan Hoax

  • Bagikan

RAKYATJATENG – Tahun 2018 dan 2019 menjadi tahun politik. Setelah Pilkada serentak tahun ini, akan dilanjutkan Pemilu Presiden dan Legislatif.

Momen ini kemudian menjadi ladang tumbuh suburnya situs berita online maupun media sosial. Bisa saja banyak di antaranya media online itu milik dari para kandidat untuk meningkatkan popularitasnya.

Kandidat kepala daerah banyak membuat media online, selain ongkosnya yang murah juga efektif. Selain itu, kampanye dan sosialisasi lewat media sosial dan media online tidak merusak lingkungan karena tidak perlu pasang baliho di pohon-pohon dan pinggir jalan.

Sesuai data, saat ini sebanyak 170 juta penduduk Indonesia telah memiliki ponsel yang bisa mengakses media online maupun media sosial (medsos). Mereka tentu menjadi pemilih potensial untuk digaet lewat kampanye di media digital.

Berbagai peliputan di media memang mampu meningkatkan popularitas seorang kandidat yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan elektabilitas kandidat tersebut dalam pilkada maupun pemilu.

Munculnya media baru tersebut, di satu sisi membuat arus informasi semakin cepat dan banyak referensi. Namun, sangat disayangkan adanya media yang cenderung melakukan provokasi dan mengarah pada berita bohong dan adu domba.

Selain munculnya media yang menyebarkan berita bohong atau hoax, juga banyak yang bermuatan SARA, ujaran kebencian, serta saling menyerang antar sesama lawan politik. Tak hanya melalui situs web, penyebaran terjadi lewat akun media sosial. Hal tersebut bisa mengganggu suhu politik Pilkada.

Khusus berita bohong atau hoax menjadi perhatian utama pemerintah mengingat dampak negatif yang ditimbulkan tidak kecil. Pemerintah sendiri akan merangkul Dewan Pers untuk memberantas puluhan ribu media online yang tidak memenuhi kaidah jurnalistik.

Kominfo sendiri sudah memblokir setidaknya 773.097 situs negatif melalui Trust Postif. Pemerintah juga memblokir sekira 87 situs yang dianggap radikal, sementara konten SARA tak lebih dari 51 situs dari kurun waktu Januari 2016 sampai pertengahan Desember.

Lalu, bagaimana caranya masyarakat mengetahui situs hoax atau bukan?
Masyarakat perlu menyelidiki betul informasi yang diterimanya.
Kalau sumber tidak jelas, tidak terverifikasi, tidak masuk akal, tidak bermanfaat, haruslah diwaspadai.

Media massa pun harus tetap mengedepankan kompetensi dan independensi, sekalipun berafiliasi dengan kepentingan tertentu.
Media boleh diperjualbelikan, pemilik silih berganti, tetapi news room harus tetap kompeten, independen, dan mengabdi kepada kepentingan publik. Jangan hoax! (Subhan Alwi Hamu)

  • Bagikan