Divonis 12 Tahun, Hak Politik Gubernur Sultra Nur Alam Juga Dicabut

  • Bagikan

JAKARTA, RAKYATJATENG – Selain hukuman pidana, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juga memberikan hukuman tambahan, yakni berupa pencabutan hak politik Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif Nur Alam, untuk dipilih dan memilih selama lima tahun atas kasus korupsi pemberian izin pertambangan.

“Mencabut hak politik selama 5 tahun selesai menjalani masa hukuman,” ungkap Ketua Majelis Hakim Diah Siti Basariah saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, (28/3).

Sementara itu, usai divonis, Nur Alam tak terima dan langsung mengajukan upaya hukum banding.

“Saya nyatakan banding semoga majelis hakim memahami dan memberi keadilan, karena patut dipertimbangkan untuk saya sebagai aparatur negara yang sudah melakukan pembelaaan dan pembelaaan kami telak (ditolak),” kata Nur Alam usai di bacakan putusan oleh Majelis Hakim pada Rabu (28/3).

Pengajuan upaya hukum ini dilakukan Nur Alam tanpa berkonsultasi dengan Penasehat hukumnya. “Saya gak pakai konsul (konsultasi) ke penasihat hukum, karena semua saya yang rasakan. Saya nyatakan ini dan tanpa menunda waktu untuk banding,” tegasnya.

Meskipun tak terima dan langsung mengajukan banding, Nur Alam juga memohon maaf atas semua kesalahannya yang sudah dilakukan baik sebelum, proses dan usai persidangan.

“Mohon maaf atas kesalahan saat selama sidang berlangsung, terima kasih untuk JPU, hakim dan semua,” tuturnya.

Sebelumnya, majelis hakim memvonis Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan 12 tahun kurungan penjara. Padahal, Jaksa Penuntutan Umum (JPU) menuntut terdakwa dengan masa hukuman 18 tahun penjara.

“Mengadili, menyatakan terdakwa telah terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara, dan denda Rp 1 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 6 bulan,” ungkap Ketua Majelis Hakim Diah Siti Basariah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu Malam (28/3)

Hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti kepada Nur Alam senilai Rp 2,7 miliar setelah keluarnya putusan pengadilan.

“Menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 2,7 miliar dengan ketentuan memperhitungkan harga 1 bidang tanah dan bangunan yang terletak di kompleks Premier Estate Kaveling I No 9 Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, yang disita KPK. Apabila terdakwa tidak membayar, akan dipidana 1 tahun penjara,” bebernya.

Dalam pertimbangan, hakim menyatakan Nur Alam menyalahgunakan jabatannya sebagai Gubernur Sultra untuk memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi. Hingga akhirnya Nur Alam mengeluarkan surat Izin Peningkatan IUP Ekplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).

“Permohonan yang diajukan PT AHB dilakukan tanpa dilengkapi rekomendasi Bupati Buton atau Bupati Bombana padahal wilayah IUP itu meliputi Kabupaten Buton maupun Bombana, yang diserahkan Burhanuddin selaku Kabid Pertambangan Umum pada Dinas ESDM Prov Sultra yang semuanya bertanda tangan mundur,” urai majelis hakim.

Majelis hakim menyebut Bupati Bombana Atikurahman membatalkan rekomendasinya karena lahan yang dimohonkan PT Anugerah Harisma Barakah itu sebagian berada di lokasi yang sama dengan lokasi kontrak karya PT International Nickel Indonesia (INCO) pad ablok Malapulu di Pulau Kabaena. Namun, terdakwa memerintahkan agar tetap menerbitkan izin IUP tersebut.

“Bahkan Bupati Bombana Atikurahman membatalkan rekomendasinya karena wilayah tersebut masuk PT INCO. Atas perintah terdakwa memerintahkan Atikurrahman yang isinya pencabutan rekomendasi PT AHB dan pernyataan seluruh kegiatan PT AHB sudah sesuai prosedur,” sambung hakim.

Hakim juga menyatakan Nur Alam terbukti menerima gratifikasi Rp USD 4,4 juta atau Rp 40,2 miliar saat menjabat Gubernur Sulawesi Tengggara dari Richcorp International Ltd. Uang gratifikasi itu diterimanya melalui rekening polis asuransi AXA Mandiri.

Atas perbuatannya, Nur Alam terbukti melanggar melanggar Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Nur Alam juga dinilai melanggar Pasal 12 B UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Karena, terdakwa bersama-sama dengan saksi Burhanuddin dan saksi Widdi Aswindi juga telah menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 1,5 triliun atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu sebagaimana Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara.

Dalam menjatuhkan putusan, hakim mempertimbangkan beberap hal. Hal-hal yang memberatkan ialah Nur Alam tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi. Sementara itu, hal yang meringankan adalah terdakwa berlaku sopan, belum pernah dihukum, mempunyai tanggungan keluarga, dan banyak mendapatkan penghargaan saat menjabat sebagai Gubernur Sultra. (JPC)

  • Bagikan