Produksi Jagung di Jateng Surplus, Kedelai masih Minus

  • Bagikan

SEMARANG, RAKYATJATENG – Ketahanan pangan masih menjadi masalah serius di Provinsi Jateng. Selain itu, pemetaan lahan pertanian juga menjadi hal yang belum jelas.

Hal tersebut disampaikan akademisi pertanian Dr Ir Rofandi Hartono. Menurutnya, terdapat beberapa hal riskan menyangkut pangan di Jateng.

“Di Jateng, ketersediaan pangan bagus, menempati urutan kedua setelah Jatim, tapi aspek keterjangkauan rendah dan hanya menempati nomor lima, sementara aspek keamanan dan kualitas juga memprihatinkan,” katanya, Kamis (22/3).

Dia menjelaskan bahwa hal tersebut dia ungkapkan saat diskusi tematik “Jalan Terjal Swasembada Pangan di Jateng” di markas perjuangan merah putih, Jalan Pamularsih 95 Kota Semarang.

Lebih lanjut, Rofandi mengatakan bahwa saat ini produksi jagung di Jateng mengalami surplus.

“Namun untuk kedelai Jateng masih minus 200 ribu ton, dari total kebutuhan 700 ribu ton, Jateng masih bisa memproduksi 500 ton. Sebenarnya banyak lahan yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi kekurangan produksi kedelai, dan jangan-jangan petani kita tidak punya cadangan pangan,” jelasnya.

Sholeh, Ketua Asosiasi Petani Bawang Merah mengamini pernyataan tersebut. Dia menduga ada konspirasi global untuk menghancurkan petani di Indonesia.

“Sebagai contoh, perluasan lahan pertanian, misalnya daerah ketinggian di atas 800 mdpl jangan ditanami bawang merah, mestinya bawang putih, harusnya ada edukasi petani, kami dilibatkan dalam pembuatan kebijakan pertanian karena bertani adalah pekerjaan mulia,” jelasnya.

Sementara, hal lain dialami petani di Jateng yang disampaikan oleh Purwanto, pakar dari Konsorsium Pembaruan Agraria adalah dalam UU perlindungan pertanian, pemerintah wajib menyediakan tanah 2 ha, kemudian perdanya copy paste dari UU.

“Terdapat hubungan antara kepemilikan lahan dan ketersedian ataupun kedaulatan pangan. Dalam UU perlintan, pemerintah wajib menyediakan tanah 2 ha, kemudian perdanya copy paste dari UU,” paparnya.

Reforma agraria, kata Purwanto, tidak harus hak milik. Menurutnya, sejak zaman SBY reformasi agraria dibiayai oleh bank dunia yang ujungnya untuk kepentingan Bank Tanah.

“BPN belum punya mekanisme yg jelas tentang redistribusi tanah, oganisasi tani harus kuat untuk mengkoordinir dan mengatur redistribusi maupun akses agraria,” pungkasnya. (sen/yon)

  • Bagikan