KOPEL: Parpol “Haram” Bersikap Otoritarian Dalam Tentukan Capres

  • Bagikan

SEMARANG, RAKYATJATENG – Meski masih satu tahun lagi, namun hawa politik terkait pemilihan presiden (pilpres) masih mulai terasa. Berbagai partai politik telah bersikap, termasuk lima parpol yang telah  menyatakan mendukung kembali Joko Widodo pada Pilpres 2019 mendatang.

Banyak yang menduga, akan ada tiga pasang calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres mendatang dengan munculnya poros tengah. Namun ada juga yang yakin Pilpres hanya akan diikuti dua pasang kandidat.

Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia mewarning  partai politik agar tidak bersikap otoritarian  terhadap  publik dalam  menentukan usungan calon presiden  (Capres) dan calon  wakil presiden (Cawapres)  pada pemilu  2019 mendatang. Sebaliknya, Partai politik harus  bisa ‘’dipaksa’’ membangun komunikasi  lebih awal dengan konstituen sebelum penentuan kandidat. “Caranya dengan cara membuat mekanisme rekruitmen secara terbuka dan menjamin terjadi proses nilai-nilai demokrasi,” ujar Direkrtur KOPEL Indonesia, Syamsuddin Alimsyah kepada wartawan, Jumat (9/3).

Syamsuddin mengingatkan, salah satu fungsi partai politik sesungguhnya adalah bertugas menyerap dan memperjuangkan aspirasi konstituennya dan akan dipertanggungjawabkan kembali kepada konstituen. Dalam kaitan rekruitmen kandidat Capres tersebut, sejatinya partai politik membangun mekanisme ruang komunikasi  dengan konstituennya.

Hal ini, kata Syamsuddin, sudah diatur dalam dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, mengharuskan ada proses reskruitmen yang dilakukan dan terukur dengan memastikan harus dilakukan secara demokratis. Sayangnya parpol selama ini cenderung abai dengan ketentuan tersebut. Padahal, merujuk pada UU itu, partai politik berarti “haram” bersikap otoritarian dalam menentukan kandidat.

‘’Setidaknya fenomena tersebut terlihat dari sikap beberapa partai yang sudah mendeklarasikan dukungan calon presiden pada Pemilu 2019,’’ ujar Syamsuddin.

Menurut Syamsuddin Alimsyah, sangat disayangkan sikap partai politik yang tertutup dalam melakukan rekruitmen capres dan cawapres menjadi wujud nyata kemunduran partai politik sebagai laboratorium demokrasi. Berkaca tahun-tahun sebelumnya, partai politik dengan cedas mampu menggagas sebuah mekanisme rekruitmen kandidat yang menjamin publik atau setidaknya konstituen partai politik masih bisa ikut berpartisipasi dari awal penentuan kandidat. Baik itu dengan  mekanisme  konvensi  atau proses pemilu raya internal partai.

Publik lebih awal diajak untuk menilai langsung bakal calon kandidat melalui  ide gagasan atas  kebangsaan. Tidak seperti sekarang ini, sekadar disuguhi informasi hasil survey  elektabilitas seseorang yang keyakinannya tidak terlalu kuat.

Dijelaskan pula, sikap tertutup parpol telah membawa implikasi nyata bagi publik. Pertama, publik tidak mendapatkan informasi atau penjelasan yang kuat atas argumentasi yang dibangun partai politik dalam menentukan pilihannya. Misalnya apakah karena visi, gagasan kebangsaan atau karena ada faktor lain.

Kedua; harapan atau aspirasi publik atas persoalan bangsa selama ini serta merta menjadi terabaikan. “Publik sangat sadar betul, persoalan krusial yang dihadapi bangsa sekarang ini adalah masih tingginya kasus korupsi di semua institusi, sementara penegakan hukum kian lemah dan menuju ketidakpastian. Bahkan secara meluas demokrasi dikhawatirkan berjalan mundur,” tuturnya, saat dihubungi dari Semarang.

Persoalan tersebut, ujar Syam, sejatinya direkam oleh partai politik dalam fungsinya penyerapan aspirasi. “Maka dalam konteks tersebut, penggodakan atau pengambilan keputusan atas dukungan capres menjadi dasar utama yang harus dipertimbangkan,” imbuh mantan wartawan ini. (yon)

  • Bagikan