Relawan SS-IF Gelar Diskusi Kupas Pendidikan di Jateng

SEMARANG, RAKYATJATENG – Relawan SS-IF yang tergabung dalam Tim Perjuangan Merah Putih kembali menggelar diskusi tematik reboan. Diskusi bertema pendidikan itu digelar di Markas Perjuangan Sudirman Said-Ida Fauziyah, Jalan Pamularsih Semarang, Rabu (7/3).

Pada kesempatan diskusi season#6 yang bertema “Meneropong Masa Depan Melalui Pendidikan (Mengurai Persoalan dan Solusi Pendidikan Jawa tengah)” itu, hadir sebagai narasumber adalah anggota Komisi E DPRD Jateng Muh Zen Adv dan Ketua PGRI KSPI Jateng Tri Widodo M Pd.

Butir persoalan pendidikan yang menjadi sorotan berkaitan dengan tenaga pendidik, regulasi dan sistem pendidikan. Terkait persoalan tenaga pendidik, Tri Widodo mengungkapkan, persoalan tenaga pendidik masih berada di seputar persoalan yang tetap, yaitu berkaitan dengan persoalan primordialisme dan pragmatisme.

“Persoalan primordialisme mencakup tanggung jawab dan panggilan jiwa seorang pendidik. Sedangkan persoalan pragmatisme mencakup kesejahteraan yang tak berbanding lempang dengan beban dan tanggung jawab seorang pendidik. Padahal, tenaga pendidikan PNS maupun Honorer dibebani seabrek tuntutan kecakapan sama, profesionalitas, wawasan luas dan linieritas,” katanya.

Sementara itu Muh Zen Adv mengatakan, pendidikan memang belum menjadi skala prioritas bagi kebutuhan dasar minimal. Lebih jauh Zen mengungkapkan, tuntutan profesionalitas dan linieritas membuat tenaga pendidikan dikotak-kotakkan menjadi banyak kategori, sementara tugas dan tanggung jawab tidak berbeda.

“Persoalan lain yang kerap terjadi di ranah institusi pendidikan menurut Zen berkaitan dengan adanya anggapan stereotip terhadap institusi pendidikan swasta yang kemudian melahirkan sikap dikotomi dan membuat disparitas tajam antara institusi swasta dan negeri,” katanya.

Lebih jauh ia katakan, ada ketidakadilan dalam penyelenggaraan pendidikan antara institusi negeri dan swasta. Pembangunan sarana dan prasarana-swasta urusan masyarakat, negeri urusan pemerintah-tidak sama tapi output pendidikan dituntut sama.

“Padahal kenyataannya, dalam banyak hal institusi pendidikan swasta telah memberikan kontribusi nyata dalam bentuk pendidikan dan pengajaran di masyarakat. Contohnya dapat dilihat dari banyaknya lembaga pendidikan swasta di tiap kecamatan dan desa,” ujarnya.

Di pihak lain, lanjutnya, persoalan yang tak kalah krusial dalam pendidikan adalah tidak ada satu pun daerah yang menganggarkan APBD untuk pendidikan di atas 20 persen di luar dana BOS kecuali DKI Jakarta.

“APBD di Jateng sendiri menurut Zen baru menganggarkan 2,9 persen untuk alokasi pendidikan, jauh di bawah DKI Jakarta yang mencapai 22 persen. Tumpang tindihnya pembiayaan pendidikan antara nasional dan regional menjadi klaim sepihak bagi daerah atas besaran anggaran yang dikeluarkan untuk pendidikan,” tandasnya.

Terakhir Zen mengatakan, bahwa saat ini Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan di Jateng sebesar 86,27 persen, Angka Partisipasi Sekolah (APS) sebesar 67,90 persen dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 58,49 persen.

“Penyebab utama adalah faktor kemiskinan yang berdampak besar ke semua lapisan. Angka-angka tersebut menempatkan Jateng di ranking 24 secara nasional, ini sekaligus menjadikan Jateng berada di zona darurat pendidikan,” ungkap Zen.

Berada diperingkat 24 secara nasional, menurut Zen membuktikan bahwa pemerintah belum serius dalam menangani persoalan pendidikan. Di Jateng, rata-rata anak putus sekolah pada lulusan jenjang SMP sederajat sebesar 24 peserta didik per tahun.

“Oleh karena itu, langkah konkret yang harus ditempuh untuk menanggulangi persoalan pendidikan di Jateng adalah harus ada penganggaran serius untuk pendidikan, minimal setara dengan DI Yogyakarta yang menganggarkan APBD untuk pendidikan sebesar 9,7 persen,” kata Zen. (sen/yon)