Palang Merah Mulai Evakuasi Korban Penyerangan Tentara di Ghouta Timur
FAJAR.CO.ID, DAMASKUS - Pertolongan itu akhirnya datang ke Ghouta Timur, Syria. Pemerintah Syria yang dipimpin Presiden Bashar Al Assad mencapai kesepakatan dengan kelompok militan yang berkuasa di wilayah tersebut.
Sebanyak 29 orang penduduk, termasuk 18 anak-anak, yang sakit parah bakal dievakuasi dan dirawat di Damaskus. Palang Merah mulai melakukan evakuasi Selasa malam (26/12).
Sayang, bagi Katr Alnada, evakuasi itu sangat terlambat. Bayi berusia 6 bulan tersebut masuk urutan ke-18 dari daftar pasien yang dibawa ke Damaskus.
”Ketika mendatanginya, tim mendapati bahwa bayi itu meninggal beberapa minggu lalu,” ujar Manajer Advokasi Syrian American Medical Society (SAMS) Mohamad Katoub lewat akun Twitter-nya, Rabu (27/12).
Kantor berita Reuters melaporkan, Jaish al-Islam yang berkuasa di Ghouta Timur sepakat membebaskan 29 sandera asal pemerintah Assad mau mengevakuasi 29 pasien itu.
Kesepakatan tersebut difasilitasi Komite Internasional Palang Merah (ICRC). Permintaan itu diproses sejak lama, tapi kesepakatan baru tercapai dua bulan kemudian. Rentang waktu yang cukup lama itulah yang membuat Alnada meninggal.
Meski begitu, bagi ICRC, kesepakatan yang tercapai kali ini melegakan. ”Senang rasanya negosiasi kami membuahkan kesepakatan penting. Ini adalah sinyal harapan bagi masa depan Syria,” tegas Presiden Federasi Internasional Palang Merah Francesco Rocca.
Kondisi penduduk Ghouta Timur memang mengenaskan. Assad dan pasukannya telah memblokade dan membombardir wilayah yang dihuni 400 ribu penduduk tersebut sejak 2013.
Ghouta Timur menjadi satu-satunya wilayah kekuasaan kelompok militan yang dekat dengan Damaskus. Berulang-ulang berbagai lembaga meminta izin Assad untuk memberikan bantuan kemanusiaan berupa makanan dan obat-obatan, tapi selalu ditolak. Mereka yang sakit tidak pernah mendapatkan pertolongan yang memadai.
Selama beberapa bulan ini, 17 orang kehilangan nyawa karena sakit, bukan perang. Salah satunya adalah bayi 9 bulan yang meninggal pada 21 Desember lalu karena malanutrisi dan komplikasi masalah pernapasan.
”Jika saja kami mendapatkan izin untuk mengevakuasinya ke rumah sakit di Damaskus, dia mungkin masih hidup hari ini,” ujar Kepala Urusan Kemanusiaan PBB Jan Egeland.
SAMS merilis pernyataan bahwa yang dievakuasi saat ini adalah orang-orang yang sakit parah. Misalnya, kanker, jantung, gagal ginjal, dan penyakit lain yang membutuhkan operasi segera.
Selasa lalu mereka baru mengevakuasi empat orang. Sisanya menyusul beberapa hari ke depan. Berdasar pengamatan di lapangan, jumlah penduduk yang sakit parah dan harus segera dirawat mencapai 641 orang.
Wakil Menteri Rekonsiliasi Syria Ahmed Mounir memberi harapan. Menurut dia, jumlah orang yang ikut dalam pertukaran itu bisa saja bertambah. Dengan begitu, Jaish al-Islam harus membebaskan lebih banyak tawanan agar penduduknya yang sakit bisa dievakuasi.
Kepala Biro Politik Jaish al-Islam Yasser Delwan mengungkapkan hal serupa. ”Kami berusaha mengeluarkan mereka yang sakit lewat Palang Merah. Kami juga berusaha mengevakuasi 500 orang lainnya,” terangnya.
Meski begitu, sampai saat ini, belum ada indikasi akan dilakukan penambahan. Sebelumnya, PBB meminta pemerintah Syria mengevakuasi lebih dari 500 orang yang sakit parah itu. Namun, belum ada jawaban.
Pemerintah Syria berkali-kali memblokade wilayah-wilayah yang dikuasai para kelompok militan. Assad menggunakan kelaparan sebagai senjata agar mereka menyerah.
Berdasar kesepakatan gencatan senjata yang dipelopori Rusia, Turki dan Iran, Ghouta Timursebenarnya adalah zona de-eskalasi. Artinya, penduduk di wilayah itu seharusnya bebas dari serangan udara dan pertempuran.
Tetapi, kenyataan di lapangan berbeda. Pertempuran dan blokade tetap berlangsung. PBB mengungkapkan, 130 ribu anak-anak di wilayah tersebut menderita malanutrisi parah karena perang selama 7 tahun itu. (sha/c16/any)