Perdagangan Mutiara Potensial, ASBUMI Minta Dukungan Pemerintah
JAKARTA - Indonesia sejauh ini sudah memasok lebih dari 50 persen mutiara laut selatan (south sea pearls/SSP) dunia. Bahkan, pusat perdagangan mutiara terbesar di dunia memperoleh bahan baku dari Indonesia. Jepang misalnya, mengimpor 70 persen kebutuhan mutiara dari Indonesia. Mutiara tersebut diproses lebih lanjut untuk menambah kualitas.
Artinya, perdagangan mutiara di Indonesia sangat potensial. Hal itu, harus dimanfaatkan oleh pihak terkait. Mulai dari pelaku usaha mutiara, sampai pihak pemerintah harus men-support perkembangan bisnis mutiara di tanah air.
’’Kami mengusulkan agar pemerintah mencontoh Jepang dan Tahiti yang mendukung perdagangan mutiara dengan membuat program jangka panjang. Contohnya, seperti promosi serta pelatihan processing, grading, dan pricing di Jepang atau Hong Kong,’’ ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia (ASBUMI) Nelia Suhaimi di sela-sela Indonesia Pearl Festival 2017 di Lippo Mall Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (11/11).
Nelia menambahkan, dari data statistik yang mencatat impor mutiara Indonesia memenuhi 70 persen supply mutiara Jepang, karena tidak terlepas dari peran Jepang sebagai trader mutiara dunia. Mutiara tersebut diproses lebih lanjut sehingga menambah kualitas mutiara dan dilabeli produk Jepang. ’’Inilah yang menyebabkan Indonesia tidak dikenal sebagai produsen mutiara south sea pearls, apalagi terbesar di dunia,’’ katanya.
Karena itu, grading di Indonesia itu belum pas dengan taksiran Jepang dan Hong Kong. ’’Misalnya begini, kita punya grader sendiri, belum diakui oleh mereka. Jadi, tetap saja mereka menaksir dengan harga rendah,’’ kata Nelia yang juga Direktur NTT Kuri Pearl.
Menurut Nelia, di Indonesia sendiri, pasar mutiara SSP yang beredar kebanyakan adalah mutiara yang belum diproses dan umumnya low grade, dan biasanya mutiara yang kualitas baik kebanyakan toko perhiasan membeli dari Hongkong atau Jepang. Sebab, Indonesia belum bisa menguasai teknik processing mutiara. Selain itu, Indonesia belum banyak menguasai teknik grading (seleksi kualitas) dan pricing (taksir harga). Kalaupun ada hanya sedikit dengan tujuan ekspor.
Nelia mengakui bahwa Indonesia belum memiliki teknik proses mutiara. Jadi, dia berharap pemerintah membuat aturan export re importmutiara yang diproses di Jepang, agar tidak kena bea masuk yang membuat high cost. Mutiara yang diproses menghasilkan kualitas lebih baik dan longlasting. ’’Jadi, ke depannya mutiara lowgradeyang diproses dapat menggantikan impor mutiara Tiongkok yang membanjiri pasar domestik,’’ ucapnya.
Nelia menjelaskan, aturan untuk mutiara butiran yang selama ini dikenakan pajak PPN untuk konsumsi domestik memberatkan para retail produk dalam persaingan harga. Nah, ini perlu regulasi baru yang disusun pemerintah untuk mengatur kebijakan tersebut. Artinya, kata Nelia, para buyer luar negeri pun akan suka rela datang membeli langsung ke produsen asalkan pemerintah memberikan kelonggaran dalam aturan, sehingga membuat pembeli mancanegara nyaman bertransaksi di Indonesia.
’’Contohnya, seperti di Hongkong atau Jepang. Pemerintah perlu membuat suatu program free port (zona bebas bea) dan kemudahan dokumen untuk mutiara seperti komoditi ekspor lainnya. Selain itu, pemerintah diharapkan bisa membantu program investasi budidaya mutiara, mengingat investasi ini jangka panjang 5 sampai 10 tahun. Jika itu dilakukan ya minimal Indonesia menjadi andalan devisa serta bisa menggerakkan ekonomi domestik,’’ tandas Nelia. (*)