Ichal Bicara Soal Kondisi Golkar Pasca Setnov Tersangka
FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie memastikan partainya tetap solid meski Ketua Umum Golkar, Setya Novanto menjadi tersangka dalam kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP). Dia tidak khawatir dengan kondisi tersebut.
Walaupun tak lama lagi akan diselenggaralan Pilkada 2018 dan Pileg serta Pilpres 2019. “Nggak (khawatir),” ujarnya di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta, Minggu (12/11).
Kata pria yang akrab disapa Ical itu, dalam menghadapi Pilkada, Pileg, maupun Pilpres, para Dewan Pimpinan Daerah (DPD) lah yang bergerak untuk meraih suara.
“Siapapun yang memimpin Partai Golkar sebagai ketua umum pasti akan bergantung banyak kepada DPD I, DPD II, sampai kecamatan dan kelurahan,” sebut dia.
Berita Terkait
DPD-lah yang menjadi tonggak utama bagi kebesaran Partai Golkar. “Mereka bergerak semua dengan suatu kebanggaan di Partai Golkar. Karena itu kalau kita lihat by survei turun, turun, turun, naik lagi sekarang,” sebut dia.
Karenanya, Ical berharap penuh kepada para DPD untuk menggalang suara di daerah untuk memenangkan partainya dalam pemilu nanti.
“Saya kira masalahnya ada di daerah. Kalau di daerah mengatakan dia bekerja dengan kuat, dengan baik, ya yakin Partai Golkar bisa memenangkan pemilu,” pungkas Ical.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi telah menetapkan kembali Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan proyek e-KTP.
Adapun keputusan itu diambil secara kolektif kolegial dari seluruh pimpinan komisi antirasuah yang disampaikan langsung Saut Situmorang di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat sore (10/11).
“KPK menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) 31 Oktober atas nama Setya Novanto, anggota DPR RI,” ujarnya.
Disampaikan bahwa Novanto selaku anggota DPR periode 2009-2014 bersama-sama Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Dirjen Dukcapil dan Sugiharto sebagai pejabat di lingkup Kementerian Dalam Negeri, diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau koorporasi, menyalahgunakan wewenang atau jabatan yang ada padanya saat itu.
“Sehingga diduga merugikan perekonomian negara sejumlah 2,3 triliun dengan nilai paket pengadaan 5,9 triliun dalam pengadaan paket KTP elektronik 2011-2012 pada Kemendagri,” tutur Saut.
Atas dasar itu, Novanto disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat 1 KUHP. (dna/JPC)