Novanto Tersangka Lagi, Kondisi Golkar akan Berpengaruh

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka dugaan korupsi terkait proyek pengadaan e-KTP Tahun 2011-2012.

Kasus yang menjerat Novanto kedua kalinya itu pun diakui berpengaruh pada kondisi partai yang dipimpinnya, Partai Golkar.

Apalagi, menghadapi tahun politik dengan ada Pilkada Serentak 2018 dan juga menyongsong pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019.

“Ini tidak bisa dihindari akan mempengaruhi kondisi internal kami,” kata Wasekjen DPP Golkar, Maman Abdurrahman dalam diskusi di Menteng, Jakarta, Sabtu (11/11).

Meski demikian, kata Maman, karena berbicara sistem dan hukum, maka posisi Novanto belum bisa digantikan. Menurut dia, tidak ada dasar hukum untuk mengganti Novanto sebagai Ketum Golkar. Itu juga berkaca dari konflik internal partai beberapa tahun lalu.

“Posisi Partai Golkar tidak ada satu dasar konstitusi apa pun yang membuat untuk mengganti dan sebagainya. Tidak ada dalil,” ujar Maman.

Dia tidak ingin mengikuti alur opini yang kencang di luar partai. Karena tetap harus berdasarkan hukum. “Kami tidak ingin berasumsi pada opini dan framingmedia,” kata Maman.

Maman menambahkan, dalam beberapa waktu ke depan, Golkar akan mengumpulkan DPD I dan II untuk memberi penjelasan mengenai situasi penetapan tersangka terhadap Setya Novanto untuk kedua kalinya ini.

Sebelumnya, KPK secara resmi telah menetapkan kembali Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan proyek e-KTP.

Komisioner KPK, Saut Situmorang mengatakan, pihaknya telah menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada tanggal 31 Oktober 2017 lalu atas nama Setya Novanto.

Saut juga mengungkapkan, Setya Novanto selaku anggota DPR periode 2009–2014 bersama Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Dirjen Dukcapil dan Sugiharto sebagai pejabat di lingkup Kementerian Dalam Negeri, diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau koorporasi, menyalahgunakan wewenang atau jabatan yang ada padanya saat itu.

Atas perbuatannya, Novanto diduga merugikan perekonomian negara sejumlah Rp 2,3 triliun dengan nilai paket pengadaan Rp 5,9 triliun dalam pengadaan paket KTP elektronik 2011–2012 pada Kemendagri.

Atas dasar itu, Novanto disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.

(put/JPC)

 

  • Bagikan