Putusan MK Soal Kepercayaan Kaburkan Prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa”
FAJAR.CO.ID - Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan pemohon uji materi terkait UU Adminduk. Kata ‘agama’ di Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 UU Adminduk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk “kepercayaan”. Sesuai dengan konstitusi, putusan MK bersifat final dan mengikat.
Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arwani Thomafi mengatakan putusan MK itu bakal mendistorsi definisi agama itu sendiri serta spirit konstitusi Indonesia sebagai negara berketuhanan. Putusan MK ini juga dapat mengaburkan prinsip negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana ditegaskan Pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Karena itu pelaksanaan putusan ini harus melalui revisi UU 23/2006.
“Kami mengusulkan agar putusan MK ini ditindaklanjuti dengan revisi Undang-Undang Adminduk dan undang-undang terkait,” kata Arwani, Rabu (8/11/2017).
Lebih lanjut, Wakil Ketua Umum PPP itu mengatakan perlu kajian dalam pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk).
“Kajian itu diperlukan supaya tidak menimbulkan kegaduhan dan masalah yuridis sebagai ikutannya seperti munculnya penolakan dan tantangan dari kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan putusan tersebut,” katanya.
Arwani menjelaskan, sesuai dengan semangat konstitusi khususnya pasal 29 menentukan negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dan menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu. “Artinya istilah kepercayaan muncul dalam konstitusi tetapi dalam bingkai Ketuhanan Yang Maha Esa,” tegasnya.
Dia menambahkan, usulan revisi tersebut harus segera masuk ke program legislasi nasional (Prolegnas) dengan kategori daftar kumulatif terbuka putusan MK (dapat sewaktu-waktu masuk penyusunan RUU Perubahan UU nomor 23 tahun 2006.
Perubahan ini dimaksudkan untuk mempertegas soal agama dan aliran kepercayaan merupakan entitas yang berbeda dan memang dilindungi oleh konstitusi.
“Hal ini juga sejalan dengan sikap MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menegaskan aliran kepercayaan bukanlah agama,” paparnya.
Terkait pelaksanaan putusan MK tergantung pada hasil penyusunan dan pembahasan revisi UU 23/2006 oleh pembuat UU yakni DPR dan presiden.(boy/jpnn/fajar)