Dari Mega Sampai Jokowi Demokrasi dalam Kemunduran, Kita Butuh Pahlawan Seperti Novel

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID, JAKARTA- Era reformasi di Indonesia tidak membawa kemajuan berarti dalam pembangunan demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Bahkan, masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri bisa dikatakan sebagai era kemunduran demokrasi, yang diawali dengan kudeta terhadap Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Demikian disampaikan aktivis Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting, dalam pesan elektronik yang diterima redaksi beberapa saat lalu (Jumat, 8/9).

“Kemunduran demokrasi di zaman Mega dilanjutkan dengan kebijakan represif di daerah Aceh,” kata dia.

Namun, demokrasi dan penghormatan HAM tidak juga pulih pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ditandai dengan maraknya penyerangan oleh organisasi keagamaan terhadap kelompok minoritas.

“Dan penghormatan HAM juga tidak pulih pada masa Jokowi, ditandai dengan petinggi militer yang pernah aktif dengan kebijakan represif terhadap demokrasi,” kata dia.

Dia menyarankan kekuatan demokratik memperkuat kekuatan organisasi rakyat. Atau, jika berada dalam institusi kekuasaan, mengikuti jejak Novel Baswedan dari dalam institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Berani dalam institusi untuk mendorong demokrasi kendati itu berisiko antagonisme dengan hirarki institusi kekuasaan. Tapi perubahan masyarakat memang membutuhkan pahlawan dan individu yang teguh semacam itu,” katanya.

Bagi kelompok yang ingin terus nyaman, lanjut dia, tentu mengambil jalur-jalur “cari muka” untuk kooptasi ke politisi mapan dan melapangkan “karirisme”.

Pius pun menyindir orang-orang yang mengaku pejuang demokrasi atau lingkungan yang memanfaatkan akses ke barisan elite hanya untuk kepentingan sempit.

Salah satunya, pegaduan sayap PDI Perjuangan, Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) ke kepolisian atas jurnalis, Dandhy Dwi Laksono, hanya karena tulisan Dandhy yang membandingkan Megawati dengan pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi.

“Dan jika terpaksa demi menambah nilai ke politisi mapan, adukan aktivis seperti dilakukan Repdem (sayap PDI Perjuangan) terhadap Dandhy Laksono,” sindirnya.

“Atau pasang badan di depan penguasa mengelabui aspirasi perjuangan rakyat yang melawan kapital seperti dilakukan Abetnego Tarigan (aktivis Walhi) terhadap warga Kendeng, tapi bicara beda di depan rakyat dan jaringan aktivis,” pungkas Pius. [ald]

 

  • Bagikan