Impian Masjidilaqsa dan “Dome of The Rock”

  • Bagikan
Bertahun-tahun lamanya, Pudjo Pramono Tjirosuwarno dan istrinya, Sri Prasetyaningsih Soedarsowo, memimpikan mengunjungi dan bisa salat di Baitul Maqdis (Masjidilaqsa atau Masjid Terjauh).

========================

Laporan Sukriansyah S. Latief

Palestina, 2008

======================

SEBAGAI umat Islam yang taat, pensiunan staf ahli Pertamina ini, punya mimpi untuk melihat tempat suci ketiga umat Islam di Palestina (kini Yerusalem) Israel itu. Sebelumnya, kakek 63 tahun yang dikaruniai tiga anak dan dua cucu ini, telah berhaji bersama istrinya, tahun 1994 lalu. “Saya sempat putus asa,” kata Pudjo. Sebagai gambaran, dia pernah ingin masuk ke Palestina lewat Kairo, tapi jumlah jemaahnya tidak cukup. Pudjo yang asli asal Jawa Tengah ini juga pernah antre tiga bulan, tapi ternyata batal. Pernah pula dia menghubungi salah satu biro perjalanan besar di Indonesia, tapi semua tak bisa membawanya meraih mimpi. Maka ketika berada di Masjidilaqsa, Pudjo dan istrinya tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah SWT. “Cita-cita saya sudah tercapai,” kata Pudjo meluapkan syukur. Maka salat Zuhur, Asar, Magrib, Isya, dan Subuh, pun tak dilewatkan begitu saja di Masjidilaqsa. Cerita yang hampir sama juga diungkapkan Guru Besar Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof. Halide dan istrinya. Meski baru beberapa minggu pulang dari umrah, dia berangkat lagi karena umrah kali ini menjadwalkan ke Masjidilaqsa. Hal sama juga diungkapkan Sahel Abdullah. “Saya akan membawa Mahir ke sini,” kata Dirut Fajar Makassar Promo ini sembari menyebut nama anaknya. “Istri saya juga,” tambahnya. Mengunjungi Masjidilaqsa, yang merupakan komplek bangunan suci di Yerusalem (Arab: Darussalam) dan dikenal dengan nama Al Haram Asy Syarif, bagi banyak umat Islam, memang menjadi impian. Ini bukan sekadar perjalanan religius mengunjungi kota kuno yang menjadi ajang perebutan bangsa-bangsa penakluk, tapi juga karena di lokasi inilah Nabi Muhammad SAW diangkat ke Sidratul Muntaha pada tahun 621. Selain itu, di lokasi ini pula ada Masjid Umar atau biasa disebut Qubah Al Sakhra (Masjid Kubah Batu) atau Dome of The Rock, karena kubah tersebut memayungi batu karang yang diyakini menjadi tempat pijakan Nabi Muhammad SAW sebelum mi’raj. Batu inilah, yang sebelum saya berangkat dipesan banyak orang untuk melihatnya, karena tergantung. Orang Bugis bilang, “batu ta’ gentung“. “Liatko itu batu tergantung,” kata Haji Ilham Rasyid. “Tulis itu Pak Uki, sebagai bukti,” tulis Mawardi Djafar via SMS. Ada juga SMS Ibu Khadijah yang bekerja di Bukopin, “Titip doa, semoga saya juga bisa lihat Masjid Aqsa.” Banyak hal yang memang menarik dan tak lazim, kalau tak mau dikatakan kontroversi, di negeri ini. Bangunan-bangunan kuno karya tokoh-tokoh besar, seperti ditulis Imanuddin Abdullah, antara lain Nabi Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Isa, dan tentu Nabi Muhammad SAW. Ada juga karya Richard si Hati Singa dan Sultan Saladin. Di sini juga menjadi panggung pementasan inspirasi seni, seperti lahirnya karya-karya seni masterpiece: lukisan dinding karya Giotto di Padua dan Arisi, Perjamuan terakhirnya Leonardo Da Vnci, mosaik-mosaik karya Monreale, karya-karya arsitektur Islam, dan lainnya. Perihal batu tergantung, menurut saya, sepertinya memang tak bisa dipahami secara eksak, tapi dengan hati dan keyakinan, karena tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Saat melihat batu tergantung, tidak berarti sedang melayang-layang, melainkan kini ada batu karang di bawahnya (yang menurut cerita sengaja dipasang kaum yahudi untuk menutupi kebesaran Islam). Saya sempat masuk ke bawah batu tergantung itu, di antara batu karang di bawahnya yang mirip sebuah gua. Terlihat garis-garis di dinding batu dalam gua itu. Garis-garis itulah diyakini menjadi tanda ketika batu itu akan ikut naik ke langit tapi dilarang oleh Rasul. Dan karena di dalam Masjid Umar sedang direnovasi, batu tergantung itu kini diikat di sisi-sisinya. Satu hal yang kayaknya juga mesti saya tulis adalah soal penjagaan tentara Israel di sekitar komplek Masjidilaqsa. Masih banyak anggapan bahwa adanya tentara itu untuk menakut-nakuti umat Islam yang sedang beribadah. Saya juga bersama jemaah Diva Sakinah dan Nipindo, mulanya merasa tak enak beribadah sementara tentara yang lengkap dengan senjata berjaga-jaga. Tapi ternyata anggapan saya keliru, karena tentara itu justru untuk melindungi umat Islam yang sedang beribadah, Sebab pernah suatu ketika ada umat agama lain yang masuk justru untuk mengganggu. Makanya, orang yang akan masuk biasanya diminta memperlihatkan paspor atau lainnya. Malah, Firzain Yunus, diminta untuk membaca Al-Fatihah, untuk membuktikan dirinya seorang muslim. Masuk ke komplek Masjidilaqsa, kita melalui gerbang Dung yang letaknya tak jauh dari Masjidaqsa. Dari gerbang Dung terdapat jalan dan tangga-tangga yang menurun menuju komplek Masjidilaqsa. Di depan Masjidilaqsa terdapat pancuran mengambil air wudu. Konon, pancuran itu adalah tempat Rasulullah Muhammad SAW mengambil wudu sebelum ke Sidratul Muntaha. Di seberang pancuran, terdapat berdiri Masjid Umar yang sangat indah karena memiliki kubah berwarna keemasan dan dinding berwarna biru yang dihiasi kaligrafi yang indah luar biasa. “Dulu kubah itu dari emas, tapi kini sudah ditukar dengan kuningan,” jelas Firas, turis guide, yang warga Israel. Masjidilaqsa yang berbentuk kotak memanjang dari Barat ke Timur, saat ini adalah masjid yang dibangun secara permanen oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Kekhalifan Umayyah (Dinasti Bani Umayyah) pada tahun 66 H dan selesai tahun 73 H. Agak berbeda dengan perngertian Masjidilaqsa pada peristiwa Isra Mi’raj, yaitu meliputi seluruh kawasan komplek Al Haram Asy-Syarif. Pembakaran Masjidaqsa pada tanggal 21 Agustus 1969, telah mendorong berdirinya Organisasi Konferensi Islam (OKI). Pembakaran itu menyebabkan sebuah mimbar kuno yang bernama “shalahuddin Al -Ayyubi’ terbakar habis. Dinasti Bani Hasyim, penguasa Kerajaan Yordania telah menggantinya dengan mimbar buatan Jepara, Indonesia. Keluarga Bani Hasyim, yang masih bertalian darah dengan Nabi Muhammad SAW menurut tradisi merupakan keluarga yang bertanggungjawab memelihara tempat-tempat suci Islam di kawasan tersebut. Masjidilaqsa ini juga merupakan kiblat sembahyang umat Islam yang pertama sebelum dipindahkan ke Kakbah di dalam Masjidilharam. Umat muslim berkiblat ke Masjidilaqsa selama Nabi Muhammad mengajarkan Islam di Mekkah (13 tahun) hingga 17 bulan setelah hijrah ke Madinah. Setelah itu kiblat salat adalah Kakbah hingga kini. Sama seperti masjid-masjid besar lainnya di Makassar, di Masjidilaqsa juga dijadikan tempat untuk syiar Islam. Di beberapa pojok, tampak anak-anak muda sedang belajar tentang Islam dan membaca Alquran. Di lapangan terbuka, antara Masjidilaqsa dan Masjid Umar, yang sore harinya dipakai anak-anak bermain bola, malamnya digunakan untuk ceramah agama dengan menggunaan pengeras suara. Sebelum pulang, imam Masjidilaqsa, Syech Ali, yang sangat ramah, sempat berfoto-foto dengan jemaah asal Indonesia. Sebelumnya, saat salat Magrib, Syech Ali, membaca surah yang pendek-pendek, yaitu Al-Kautsar dan ditutup dengan surah Al-Ikhlas. (*/fajar) — *Tulisan ini merupakan catatan lama penulis dengan sedikit penyuntingan. Masih relevan dengan kondisi saat ini, sehingga dimuat kembali.  
  • Bagikan

Exit mobile version