Presidential Threshold Bukti Rezim Jokowi Panik?
FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Aksi walkout (WO) oleh empat fraksi yang tak setuju presidential threshold (preshold) 20 persen mewarnai paripurna pengambilan keputusan RUU Pemilu di DPR yang digelar Kamis (20/7) hingga Jumat (21/7) dini hari.
Salah satu fraksi yang sejak awal menolak keberadaan presidential threshold adalah Gerindra, partai berlambang kepala Garuda bentukan Prabowo Subianto.
Untuk mendukung aksi penolokan adanya preshold itu, Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang memimpin paripurna, karena menggantikan Novanto yang berstatus tersangka e-KTP, juga ikut melakukan aksi walkout.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra Andre Rosiade menilai sidang paripurna DPR yang akhirnya dipimpin Setya Novanto itu tak lebih sebagai aksi panggung rezim pemerintah dan partai pendukungnya.
Andre menuding rezim pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menggunakan berbagai cara agar bisa berlanjut ke periode kedua.
“Apa yang tersaji dalam paripurna semalam itu bukti rezim pemerintahan Jokowi takut. Dari kekalahan Ahok (Basuki T Purnama, red) di Pilkada DKI, rezim ini kemudian menggunakan berbagai cara agar syarat pencapresan 2019 dikuasai rezim Jokowi,” ujar Andre di Jakarta, Jumat (21/7).
Menurut dia, kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI 2017 merupakan realitas politik yang bisa menjadi cerminan hasil Pilpres 2019.
Andre pun menduga rezim pemerintah memaksakan kehendak dengan mengesahkan RUU Pemilu meski mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meniadakan keberadaan preshold dalam pemilu seretnak 2019.
“Saya menduga arahnya skenario calon tunggal, agar Jokowi tidak bertemu atau head to head dengan Prabowo Subianto. Sebenarnya sudah sangat jelas jika partai pemerintah panik,” ucapnya.
Andre kemudian menyinggung janji demi janji Presiden Jokowi dalam kampanye Pilpres 2014 mengenai upaya menumbuhkan demokrasi yang sehat. Kenyataannya, kata dia, penegakan hukum yang harusnya menjadi ciri pemerintahan yang demokratis, jauh panggang dari api.
Sebab, dalam prosesnya jadi condong ke penguasa. Sebabai contoh adalah pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
“Janji tinggal janji, jauh panggang dari api. Tidak heran jika banyak pihak menyebut rezim sekarang menuju pemerintahan yang otoriter,” pungkas Andre. (dms/JPC)