Pemberantasan Korupsi Tak Boleh Dimonopoli KPK

  • Bagikan
FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Rapat Pansus Hak Angket KPK DPR RI mempertanyakan empat hal utama kepada dua profesor ahli tata negara Yusril Ihza Mahendra dan Zain Badjeber. Empat hal yang ditanyakan Ketua Pansus Hak Angket Agun Gunandjar Sudarsa tersebut antara lain, pertama tentang keberadaan angket dalam Undang-Undang Ketatanegaraan Indonesia. Kedua tentang bagaimana posisi angket dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan KPK. Lalu ketiga tentang kelembagaan KPK dalam sistem ketatanegaraan dan keempat bagaimana dengan latar belakang sejarah penyusunan pembentukan KPK. Agun menyampaikan alasan kenapa mengundang dua pakar hukum tata negara ini. Selain sebagai pakar hukum tata negara Yusril juga diundang dalam kapasitasnya sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada saat penyusunan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Begitu juga Zain diundang karana dulu juga pernah terlibat langsung dalam penyusunan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. “Pansus Angket meminta masukan dari Prof Yusril dan Prof Zain Badjeber,” ujar Agun saat memimpin RDP di Ruang Rapat KK I Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta. Dalam pemaparannya, Yusril menegaskan bahwa dirinya tak berdiri dalam satu posisi mana pun, di antara pihak yang mendukung atau menolak keberadaan pansus. Dia mengatakan, tugasnya adalah menerangkan segala yang diminta DPR tentang keterangan akademis. Dalam pemaparannya dia mengungkapkan, berupaya secara maksimal untuk tidak melibatkan diri dalam perdebatan dan kepentingan politik pihak mana pun juga. Yusril yang pernah menjabat sebagai Mensesneg dan Menteri Kehakiman menilai DPR berhak untuk melaksanakan hak angket terhadap KPK.  Sebab KPK adalah bagian dari ekesekutif yang bertugas melaksanakan UU, dan boleh diawasi dalam pelaksanaan UU. Menurutnya, KPK tidak masuk kategori badan yudikatif lantaran bukan lembaga peradilan yang berugas memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. KPK juga bukan lembaga legislatif karena tidak memproduksi perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. “Tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan adalah tugas eksekutif. Bukan tugas legislatif atau yudikatif. Timbul pertanyaan dapatkan DPR secara konstitusional melakukan angket ke KPK? Saya jawab, karena KPK dibentuk dengan undang-undang, maka untuk mengawasi pelaksanaan UU itu, DPR dapat melakukan angket terhadap KPK,” ujar Yusril. Sementara itu, Zain Badjeber mengatakan, saat menggagas pembentukan KPK dia mengusulkan, agar anggotanya terdiri dari unsur jaksa dan polisi yang memang dipilih secara khusus untuk memberantas korupsi. Dia juga mengungkapkan bahwa tugas utama KPK adalah melakukan supervisi dan koordinasi dengan lembaga penegakan hukum yang permanen, Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Sejak awal penggagasan dia juga sudah mewanti-wanti agar jangan sampai pemberantasan korupsi hanya dilakukan oleh KPK. “Saya menggagas membentuk KPK tapi anggotanya dari jaksa dan polisi yang terpilih, bukan mengikut sertakan masyarakat. Jangan KPK ini yang memonopoli pemberantasan korupsi, berarti masih ada lembaga lain, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan,” jelas Zain. Lebih lanjut, Yusril menerangkan, kewenangan penyelidikan DPR melalui angket adalah untuk menyelidiki efektivitas pelaksanaan UU. Dia mengatakan, hal itu sejalan dengan ketentuan didalam Pasal 203, 204, dan 205 UU MD3. Dia juga mengungkapkan, sejak ada amanat untuk membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian menjadi KPK, sudah ada pandangan yang mengkhawatirkan, tumpang tindihnya lembaga itu dengan lembaga penegakan hukum lainnya. Yakni seperti Polri dan Kejaksaan Agung. Saat itu, Fraksi TNI yang masih ada di DPR, sudah memprediksi terjadinya masalah itu. Yusril juga menjelaskan, sejak awal KPK memang diberikan kewenangan luar biasa oleh pemerintah dan DPR saat pembentukannya dahulu.  Namun, dia mengingatkan, bahwa lembaga yang punya kewenangan luar biasa, tidak bisa permanen. Sebagai contoh, di era Soeharto, ada lembaga Komando Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib). Saat itu, untuk pemulihan keamanan dan ketertiban, merupakan tugas Polri. Namun, presiden memberikan kewenangan kepada TNI lewat Komkamtib. Dalam perjalanannya, Komkamtib banyak dikritik dan menimbulkan sejumlah insiden. “Lalu Komkamtib diakhiri sendiri oleh Soeharto,” ungkap Yusril. “Yang jelas, suatu lembaga yang dibentuk dalam keadaan serius, darurat, kemudian diberi kewenangan luar biasa, maka sifatnya tidak permanen. Itu jika dilihat dari sistem ketatanegaraan,” imbuhnya. Dari sisi historis, Yusril menjelaskan hak angket parlemen sudah dipraktikkan, bahkan sejak awal berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Hak angket kembali diberikan kepada DPR Sementara 1950, sempat dimasukkan di UU 7/1954, sebelum akhirnya diberlakukan melalui UU MD3. “Angket bukan sesuatu yang baru. Jadi, sudah dijalankan di sistem parlementer. Angket itu melekat di DPR. Ketika lahir UU MD3, maka pasal angket yang diatur di UU 7/54 diadopsi di dalamnya karena dianggap sesuai dengan sistem presidensial setelah amandemen UUD 45,” jelas Yusril. (Fajar/jpnn)  
  • Bagikan

Exit mobile version