Pemilu 2019 Terancam Tidak Punya Payung Hukum
FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah mengancam mundur dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu. Langkah tersebut menuai kritik beberapa kalangan karena bukan solusi yang tepat.
Sikap pemerintah yang mengancam mundur itu akibat kemungkinan Pansus bakal menolak usulan ambang batas pencalonan presiden 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara hasil pemilu nasional. Implikasi dari sikap pemerintah tersebut adalah bakal terjadi kekosongan payung hukum pelaksanaan pemilu 2019.
Sebab untuk kembali ke undang-undang lama tidak memungkinkan, mengingat ada perintah Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menggelar pemilu legislatif dan pemilihan presiden secara serentak. Berbeda dengan aturan yang ada pada undang-undang lama, di mana masih memisahkan pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Selain itu, hasil pileg yang digelar lebih dulu, sebelumnya juga ditetapkan sebagai acuan bagi parpol untuk mengusung pasangan calon presiden.
“Jadi kalau pemerintah mundur, maka satu-satunya jalan hanya lewat penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu),” ujar Sekretaris Jenderal Serikat Kerakyatan Indonesia (Sakti) Girindra Sandino, di Jakarta, Jumat (16/6).
Meski Perppu sebagai satu-satunya jalan, kemungkinan hal tersebut juga tidak akan mulus. Karena Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan tegas menyebut harus ada unsur kegentingan yang memaksa.
“DPR tentu akan mempertanyakan unsur kegentingan yang memaksanya apa. Karena pihak yang paling memberikan kontribusi terhadap kekosongan payung hukum justru pemerintah jika akhirnya mundur dari pembahasan RUU Pemilu,” ucap Girindra.
Karena itu, Girindra menyarankan baik pemerintah maupun Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu kembali melakukan pembahasan dengan baik, agar jangan sampai karena saling ngotot justru masa depan demokrasi Indonesia yang menjadi korban. (Fajar/jpnn)