Rekam Jejak Kepedulian Indonesia untuk Palestina

FAJAR.CO.ID, GAZA – Bertahan sebagai warga negara yang mengalami krisis kemanusiaan tak terlepas dari ancaman kenestapaan. Keselamatan teracam, ekonomi negara memburuk, sebagian besar penduduk kehilangan pekerjaan, krisis listrik dan air bersih, hingga sulitnya mendapatkan pasokan pangan dan bahan bakar. Hal itulah yang dirasakan warga Palestina selama satu dekade ini.

Bantuan kemanusiaan dari dunia internasional menjadi salah satu harapan warga Palestina. Selama lebih dari satu dekade, bangsa Indonesia bersama ACT senantiasa mendampingi mereka menghadapi ancaman krisis tersebut. Rangkaian kepedulian itu berupa pemenuhan kebutuhan pokok hingga pemberdayaan ekonomi.

Menjaga Pangan

Konflik membuat sejumlah komoditas sulit masuk dan keluar daerah Gaza dan Yerusalem. Akibatnya, dua kota di Palestina itu kekurangan pasokan pangan bagi warganya. Melalui program Humanity Card, Aksi Cepat Tanggap (ACT) menyampaikan amanah masyarakat Indonesia untuk meredam krisis pangan di wilayah tersebut.

Humanity Card memiliki fungsi serupa alat tukar bersistem top up yang bisa digunakan untuk memperoleh kebutuhan pokok di swalayan yang telah bekerja sama dengan ACT. Penerima manfaat Humanity Card dikategorikan pada keluarga yang tidak lagi memiliki kepala keluarga, keluarga dengan kepala keluarga tunadaksa atau manula. Sedangkan, di Yerusalem atau al Aqsa, Humanity Card diperuntukkan bagi Murabitheen di kompleks Masjid al Aqsa, di Yerusalem, Tepi Barat.

“Penerima manfaat Humanity Card Gaza dan al Aqsa hingga akhir 2018 telah mencapai 50 ribu jiwa,” lapor Andi Noor Faradiba dari Global Humanity Response (GHR) – ACT.

Ikhtiar bangsa Indonesia menjaga Palestina dari kelaparan telah dilakukan sejak 12 tahun silam. Pada periode 2006-2007, ACT menunaikan bantuan itu dalam bentuk paket pangan. Hingga saat ini, ikhtiar itu terus dilakukan dalam wujud program yang lebih variatif.

Dapur umum juga menjadi solusi dari meminimalisir dampak kelaparan yang masif. Sabtu (9/2), 500 porsi makanan siap santap diantarkan ke sekolah Al-Horriya di di Kota Gaza. “Dapur umum Indonesia menjadi salah stau quick response bagi kebutuhan pangan masyarakat Palestina,” jelas Faradiba.

Air sumber kehidupan

Air bersih juga menjadi barang mahal di Palestina, terutama wilayah Gaza. Pasalnya, blokade bertahun-tahun telah membuat sejumlah infrastruktur penghasil air bersih tidak lagi berfungsi baik, seperti mesin desalinasi yang seharusnya bisa membuat air laut menjadi air layak konsumsi. Selain itu, kelangkaan bahan bakar juga membuat pompa air tanah tidak dapat dioptimalkan. Sejumlah sumber air pun tercemar bakteri e.coli.

Tidak ada pilihan, warga Gaza terpaksa mengonsumi air yang ada. Padahal, sejumlah penyakit sangat berisiko menyerang tubuh seperti diare dan penyakit ginjal. Bahkan, hal air tidak layak konsumsi mempunyai dampak bagi pertumbuhan anak-anak seperti stunting dan penurunan IQ.

Meredam krisis kemanusiaan itu, ACT memasok bantuan air bersih sejak tahun 2015. Data Global Humanity Response (GHR) – ACT tahun 2018 menunjukkan, lebih dari satu juta jiwa telah menerima manfaat program Mobile Water Tank. Air bersih didistribusikan ke sejumlah pemukiman atau pun fasilitas publik seperti rumah sakit dan sekolah.

Bantuan musim dingin

Suhu di Palestina bisa mendekati titik beku bila musim dingin tiba. Jumat (15/2) pagi ini, suhu di negara itu mencapai 6 derajat Celsius. Keadaan itu menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang tinggal di negara konflik. Di Palestina, musim dingin harus dirasakan mereka yang tidak lagi memiliki rumah atau tinggal di kamp-kamp pengungsian.

Meminimalisir dampak musim dingin, ACT menyampaikan amanah masyarakat Indonesia dalam sejumlah program, yaitu pemberian kelengkapan musim dingin seperti jaket dan selimut, gas untuk pemanas ruangan, hingga perbaikan atap rumah bagi sejumlah warga. Penyerahan bantuan musim dingin untuk Palestina telah dilaksanakan ACT sejak 2012.

“Bantuan yang diberikan bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan keluarga yang sudah disurvei sebelumnya oleh tim ACT. Penerima manfaat dipilih dari keluarga pra-sejahtera yang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya memerlukan bantuan orang lain. Sebagian besar dari mereka adalah keluarga dengan jumlah banyak dengan kepala keluarga yang menganggur atau menderita penyakit kronis,” ungkap Andi Noor Faradiba dari GHR – ACT.

Layanan kesehatan

Layanan kesehatan masuk dalam rangkaian bentuk kepedulian bangsa Indonesia untuk Palestina. Awal tahun lalu, layanan kesehatan ACT untuk Palestina dilaksanakan di Khan Younis dan sejumlah klinik di Gaza.

“Musim dingin membuat sejumlah orang terserang penyakit. Relawan medis ACT di Palestina mencatat sekitar 350 pasien yang sudah diperiksa. Penyakit yang banyak ditemukan antara lain flu, radang tenggorokan, batuk, dan peradangan pada saluran pernapasan,” terang Faradiba.

Beberapa tahun silam, layanan kesehatan juga hadir dalam bantuan ambulans. Awal 2015 lalu, ACT mencatat, masyarakat Indonesia pernah mengirimkan bantuan ambulans ke jalur Gaza dibantu pemerintah dan sejumlah lembaga lainnya. Implementasi layanan kesehatan juga pernah diwujudkan dalam bantuan kursi roda ke sejumlah warga Palestina.

Pendidikan

Konflik yang dan okupasi telah membahayakan akses ke pendidikan di wilayah Palestina yang diduduki. Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB untuk Wilayah Okupasi Palestina (OCHA OPT) menyebutkan, sejumlah fasilitas pendidikan di Palestina telah rusak.
Di Tepi Barat, akses pendidikan dirusak karena penahanan anak-anak, operasi militer dan insiden terkait pemukim.

Sedangkan di Jalur Gaza, konflik bersenjata dan penghancuran fasilitas pendidikan terjadi. Blokade Israel dan perpecahan internal Palestina telah sangat mengganggu layanan pendidikan, termasuk kemampuan untuk melakukan kegiatan pendidikan reguler.

Fakta itu menjadi salah satu perhatian ACT. Pada 2014, sejumlah pelajar di Palestina menerima beasiswa yang diberikan masyarakat Indonesia melalui ACT. Sementara pada 2018, beasiswa kembali diberikan kepada lebih dari 50 mahasiswa Palestina, khususnya di Gaza.

Selain beasiswa, ACT turut mendistribusikan bantuan perlengkapan sekolah untuk menunjang kebutuhan sekolah para siswa Palestina melalui program Back to School.

Pemberdayaan ekonomi

Konflik membuat lajur ekonomi Gaza terpuruk. Fakta tersebut membuat ACT menginisiasi program pemberdayaan agro-farming yang ditujukan untuk para petani dan peternak di Gaza dalam waktu ke depan.

Direktur GHR – ACT Bambang Triyono mengungkapkan, rencana itu pertama datang ketika ACT mengirimkan bantuan beras lewat Kapal Kemanusiaan Palestina, akhir 2017 silam.

“Kami tidak ingin berpikir hanya soal (mengirimkan) bantuan beras semata, jumlahnya pasti akan cepat habis. Kami pikir, ACT harus lebih dari itu, salah satunya ya dengan membuat program pemberdayaan untuk para petani dan peternak di Gaza,” ungkap Bambang.

Pada awal 2019 ini, ACT melalui gerakan Indonesia Selamatkan Palestina terus menyalurkan berbagai macam bantuan, mulai dari bantuan pangan, air bersih dan energi. Sri Suroto, selaku Kepala ACT Jawa Tengah (ACT Jateng), mengatakan bahwa tim ACT Jateng mulai menggerakkan kepedulian di tengah masyarakat Semarang dan sekitarnya.

“Alhamdulillah ACT di Jawa Tengah sudah mulai menjalankan program Indonesia Selamatkan Palestina, seperti dalam waktu dekat ini kami akan mengadakan safari dakwah dengan mendatangkan Syeikh dari Palestina,” ungkapnya.

Suroto menambahkan, ACT juga telah kolaborasi dengan organisasi, komunitas, instansi pemerintahan dan lembaga kemanusiaan lainnya demi menciptakan peradaban yang lebih baik. Tentunya, dengan donasi dari masyarakat Indonesia, ACT akan terus berikhtiar membantu Palestina. [sen]