Musisi Semarang Timbul Tenggelam, Mengapa?

  • Bagikan

SEMARANG, RAKYATJATENG – Perjalanan para musisi Semarang terbilang berliku. Sejumlah kelompok band berkarya dalam balutan idealisme. Banyak band baru bermunculan, tetapi gampang tumbang. Mengapa demikian?

Para musisi Kota Semarang sebenarnya hingga kini tetap mampu berkarya. Bahkan, grup pendatang baru bermunculan. Tetapi tak satupun grup musik dari Semarang ini, berhasil menembus pasar nasional.

Berbeda dengan para pendahulu yang mampu mewarnai kancah musik nasional. Tahun 1975, muncul Nasida Ria, kelompok kasidah legendaris pertama di Indonesia yang mampu bertahan hingga sekarang. Pada 1983 muncul kelompok unik bernama Congrock, yakni kelompok musik inovatif dan kreatif yang menggabungkan keroncong dengan aransemen rock. Era 1990 hingga 2000-an, terangkat dengan grup musik seperti Blue Savana dan Power Slaves. Nama lain yang dikenal dari Semarang adalah Peppi Kamadhatu.

“Namun setelah itu hingga sekarang, tidak ada lagi nama grup band asal Semarang yang muncul di lingkup nasional. Tak terdengar lagi suara lantang dari pemusik Semarang, vakum,” kata pengamat musik Semarang, Andi Pratomo, belum lama ini.

Musisi Semarang sebetulnya tetap bergeliat di kandang sendiri. Termasuk pemusik yang bergerak secara mandiri atau dikenal sebagai indie. Gairahnya sebetulnya menggebu untuk selalu berkarya. Sebut saja grup band indie OK Karaoke, Lipstik Lipsing, Wiwiek N Friends, Something About Lola (SAL), Sunday Sad Story, Tanpa Nada, Serempet Gudal dan lain-lain. Tetapi mereka belum mampu mengejar para pendahulunya.

“Musisi indie yang awalnya kuat, mulai roboh satu per satu. Grup yang bertahan tampaknya karena digawangi pemusik lama yang memiliki semangat kuat,” katanya.

Pada era 2000-an beberapa aliran musik banyak mengambil jalur pop hingga elektronik 8bit, sebut saja Hellostereo! Mereka mampu membuat karya dengan baik. Punggawanya Rico Julian sempat menjadi tokoh aliran musik tersebut di kancah nasional.

“Tetapi Semarang tampaknya hanya mengekor perkembangan musik di kota lain seperti Bandung, Jogjakarta dan Jakarta. Di kota-kota itu ramai musik apa, lantas di Semarang mengikutinya,” kata dia.

Menurutnya, pemusik Semarang seringkali gagal membaca tren musik. Ia menyontohkan Blue Savana dengan musik popnya. Grup musik tersebut tidak bertahan lama. Sebab kala itu masyarakat banyak menyukai musik rock alternative dan metal. “Blue Savana muncul terlalu cepat. Sedangkan Power Slaves mampu bertahan lama karena muncul di saat yang tepat,” ungkapnya.

Sedangkan kelompok musik hardcore dan metal, sejauh ini terlihat stabil atau tidak ada kesenjangan berarti di setiap era. Mereka berkarya secara konsisten dan kompak. “Mereka mendasari karya dengan idealisme yang sama. Mereka juga bangga akan hal itu,” katanya.

Sebagai musisi asal Semarang yang saat ini tinggal di Jogjakarta, Andi mengaku gelisah. Sebab Semarang seperti ada kekosongan dalam hal musik. “Saya sering mendapat pertanyaan dari teman, ada apa di Semarang? Para musisi luar kota tidak mendengar karya musik band Semarang. Kosong,” katanya.

Menurutnya ada sikap para musisi Semarang yang perlu diubah. Beberapa kali pemusik dari luar Semarang bertandang dan berinteraksi dengan pemusik Semarang, tetapi ada kesan musisi kota lain kurang nyaman setelah bertandang ke Semarang. “Misalnya sekadar berbincang, tukar pengalaman, ilmu, dan lain-lain. Saya melihatnya ada sikap yang kurang terbuka. Jadi, pantas kalau kurang terdengar di luar,” katanya.

Hal yang membuat terjebak, lanjut dia, seringkali pemusik Semarang puas dengan panggung besar di kandang sendiri. “Itu terjadi sejak dulu. Kebiasaan yang justru menjadi penjara bagi pemusik Semarang sendiri. Mereka sudah puas tampil di acara-acara besar di dalam kota,” katanya.

Sementara itu, pegiat musik eksperimental, Openk Prabowo, mengaku Semarang perlu terobosan. Hal itu agar bisa mengubah cara perpikir musisi Semarang. Banyak cara yang seharusnya ditempuh para musisi. Salah satunya adalah musik eksperimental. “Di Semarang musik eksperimental sempat ramai pada 2000 hingga 2007. Banyak wadah dan acara yang mendukung para pemusik di aliran ini. Perlu edukasi yang baik,” katanya. (JPC)

  • Bagikan