Diah K Wijayanti, Sang “Kartini” Asal Semarang Pejuang Budaya

  • Bagikan

SEMARANG, RAKYATJATENG – Diah Kusumawardani Wijayanti, barangkali menjadi satu di antara seribu perempuan yang memiliki niat tulus merawat dan melestarikan budaya bangsa. Perempuan berusia kepala tiga ini mempunyai cara untuk memperkenalkan budaya tradisional kepada generasi muda yakni lewat mengajar.
Lewat wadah yang dibangunnya, Yayasan Belantara Budaya Indonesia, perempuan asal Semarang ini mengajarkan kepada anak didiknya seni tari dan musik tradisional. Tujuannya agar anak-anak Indonesia bisa menghargai budaya tradisional. Caranya dengan belajar tari dan musik tradisional.
Kisah Diah berawal dari kesedihannya karena budaya lokal semakin tergerus budaya asing. Terlebih Diah melihat pendidikan seni di sekolah masih kurang bergema. Sehingga, dirinya tergerak untuk menghidupkan budaya tradisional.
“Yayasan ini saya bangun karena saya peduli akan budaya dan warisan Indonesia. Saya sedih banget kok lihat putri saya sendiri sukanya tari-tari dari luar. Belajar tari dari luar sih boleh-boleh saja, tapi untuk memperkaya tari tradisional Indonesia. Makanya saya ingin sekali anak-anak Indonesia mengenal mencintai budaya dan tradisi Indonesia,” kata ibu dua anak itu di Museum Nasional.
Sejak kecil di usia taman kanak-kanak, Diah memang sudah dijejali seni oleh orang tua yang kental dengan budaya Jawa. Maka dari itu, Diah mulai belajar menari sejak balita. Kala itu, Diah belajar tari gamelan Jawa. Perempuan manis itu mengungkapkan dirinya selalu dididik oleh orang tua untuk mempelajari budaya dengan hati.
Untuk menularkan semangat mencintai dan menjaga budaya, Diah akhirnya membuat suatu program agar museum banyak dikunjungi. Caranya adalah dengan membuat sekolah tari dan musik secara gratis di sana. Sebagai lulusan arkeologi, Diah ingin museum semakin ramai dicintai pengunjung.
“Ternyata hasilnya sangat menyenangkan walaupun awalnya saya pikir ada enggak ya yang mau datang meski saya buat gratis? Karena saat saya buat program itu lagi kencang-kencangnya budaya KPop ke Indonesia. Saya buatlah flyer sebar ke daerah-daerah seputar Senen, terus upload di jejaring media sosial. Sekolah pertama didatangi 100 anak, ditambah 100 dengan orang tuanya. Akhirnya berlanjut ke sekolah tradisional angklung dan gamelan Jawa,” jelas Diah.

Terjun Langsung Pakai Kocek Pribadi

Diah membangun yayasan tersebut yang berasal dari kocek beasiswa sebagai lulusan Arkeologi Universitas Indonesia (UI). Awalnya Diah memang mengaplikasikan programnya sesuai apa yang dia teliti dalam tesisnya. Dia sengaja membuat program dari museum ke museum untuk membuat sekolah tari tradisional gratis.
“Ketika usia 35 saya ingin berguna bagi orang lain. Ternyata doa saya diijabah, saya dapat beasiswa dan uang beasiswanya ini yang saya bikin yayasan. Karena beasiswa saya arkeologi UI, saya ingin bagaimana museum bisa jadi tempat favorit bagi pengunjung,” ujar pecinta kue cucur dan rujak cingur itu.
Diah sadar bahwa tari hanya hobi yang dianggap sebagai kebutuhan sekunder oleh masyarakat. Apalagi ketika masyarakat dan para orang tua berpikir kursus tari yang digagasnya berbiaya mahal. Ternyata, setelah mengetahui program itu gratis, berbondong-bondonglah orang tua untuk datang.
“Maka saya bikin sekolah ini gratis. Mau orang kaya orang miskin semua gratis. Yang pasti mereka punya kemampuan yang ingin jadi pelestari budaya. Mengawalinya pakai uang pribadi banyak banget. Tapi melihat hasilnya anak-anak bahagia, orang tua bahagia, saat melihat anak pentas maka kayaknya semua yang dilakuin enggak bisa dihitung Rupiah,” jelasnya.
Diah menjamin segala hal menyangkut kostum, makan, transportasi, make-up, dan biaya pentas tak dipungut sepeserpun. Selain dari beasiswa dan kocek pribadi, beruntung ada saja donator yang ikut peduli melestarikan budaya. Diah berharap suatu hari nanti dari Sabang hingga Merauke, sekolah tari dan musik gratis miliknya akan tersebar luas. Dia mengajak perusahaan untuk bersama bergandengan tangan peduli terhadap seni tradisional.
“Uang dari mana? Ada saja yang donasi di sekolah pertama, sekolah kedua juga. Saya kini punya 7 sekolah. Ada 5 di Jakarta, lalu Depok. Segera akan ke Cirebon. Tapi saya berharap kedepannya perusahaan mau bergandengan tangan agar anak-anak bertambah banyak. Sebab saya someday punya mimpi ingin membuat boarding school yang terdiri dari gabungan anak-anak terbaik,”ujarnya.

Perempuan Bisa Bergerak dan Berkarya

Sebagai seorang perempuan berbudaya Jawa, Diah menyadari ada stereotip bahwa perempuan berada di kelas kedua setelah pria. Namun Diah mendobrak anggapan itu. Diah meniru semangat juang RA Kartini. Lewat seni, dia bisa membuktikan perempuan layak sejajar dengan pria. Tak harus berkompetisi, akan tetapi saling dukung.
Tari sudah menjadi bagian dari darah daging kehidupannya. Maka dengan semangat menumbuhkan rasa Bhinneka Tunggal Ika, Diah mengajarkan budi pekerti dan nilai-nilai luhur kepada anak didiknya. Tentu apa yang dilakukannya mendukung Nawa Cita pemerintah dalam program Revolusi Mental.
“Dengan tari tentu bisa melatih mental, dan pikiran, serta hati menjadi lebih halus. Sebab anak dilatih gerak motoriknya. Bahkan lansia atau orang dewasa menganggap tari sebagai olahraga yang menyehatkan. Pada dasarnya setiap orang bisa menari jika mau belajar. Hanya saja yang berbakat belajarnya lebih cepat,” tegasnya.
Diah yakin anak didiknya punya mimpi besar. Hal itu terlihat dari ketekunan para siswa yang datang latihan dan jarang absen. Diah mengajak seluruh generasi muda untuk tetap menyeimbangkan budaya asing dengan mengutamakan budaya lokal. Dengan berbeda, kata dia, maka itulah kekayaan sejati dari Indonesia.
“Saya sedih banget ya budaya kita di luar negeri kok kurang. Saya mau ribet dalam urusan ini. Seenggaknya dalam hidup saya, saya ada artinya buat tradisi dan budaya Indoneisa. Dan sangat bangga ketika anak-anak itu tampil pede dan ibu-ibunya terharu melihat anaknya tampil di depan pejabat, kementerian, bahkan presiden. Itulah kebahagiaan yang tak bisa ditukar dengan apapun,” tutup Diah. (JPC)

  • Bagikan